Menghindari Incest di Padang Sabana [Catatan Dahlan Iskan]

savanna.org.au
Dari NT ke NTT. Itulah jadwal perjalanan Presiden SBY pekan lalu. Dari North Teritory (NT) di Australia ke NTT (Nusa Tenggara Timur) di belahan timur Indonesia. Wilayahnya berdekatan, kondisi alamnya mirip-mirip, dan keduanya jadi andalan untuk produksi daging bagi negara masing-masing.

Bedanya, produksi ternak di NT berlebih untuk Australia, sedang produksi ternak NTT tidak cukup untuk Indonesia. Tahun lalu Indonesia harus impor sapi sampai 350.000 ekor, kebanyakan dari NT.

Problem itulah yang jadi fokus kunjungan Presiden SBY ke NT. Ini sangat serius karena bisa jadi impor ternak dari NT akan terus bertambah yang ujung-ujungnya kelak Indonesia akan tergantung Australia. Apalagi konsumsi daging kita akan terus membumbung seiring dengan terus naiknya kelas menengah di Indonesia. Menurut laporan Bank Dunia, jumlah kelas menengah kita naik drastis dalam delapan tahun terakhir. Tahun lalu sudah mencapai 56,5% (131 juta), dari hanya 37% di tahun 2003.

Karena itu kali ini Presiden SBY membawa misi dua jalur: silakan pengusaha NT terus mengeskpor sapi ke Indonesia, tapi juga harus diimbangi dengan investasi ternak di NTT. Atau di propinsi lainnya di kawasan timur Indonesia.

Melihat kuatnya imbauan presiden soal investasi ternak ini, saya menafsirkannya begini: kalau Australia tidak juga mau investasi ternak di Indonesia, jangan salahkan Indonesia kalau satu saat nanti ada investor lain (asing maupun lokal) yang menanam modal di NTT dan akhirnya Indonesia tidak akan impor sapi lagi!

Dalam perjalanan pulang ke NTT, Presiden SBY menegaskan agar para menterinya aktif menindaklanjutinya. Karena itu, ketika masih di dalam pesawat, saya minta izin: mengunjungi  padang sabana Kabaru, 100 km dari Waingapu. Saya ingin tidur di savana Kabaru untuk melihat peternakan besar di situ. Saya berjanji pagi-pagi sudah akan tiba kembali di Waingapu untuk ikut penerbangan pesawat kepresidenan kembali ke Jakarta.

Di sabana Kabaru, BUMN memiliki 7.000 ha padang gembalaan. Dibangun tahun 1973, padang gembalaan ini pernah berjaya. Dananya dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan manajemennya dipegang oleh ahli dari Australia. Tapi kejayaan proyek ini tidak lama. Sejak tahun 1980an, tidak terlalu diurus lagi. Terakhir proyek ini, entah mengapa, berada di bawah naungan PTPN 14 yang tugas pokoknya mengurus perkebunan.

Selama ini sebenarnya sudah ada BUMN yang mengurus peternakan: PT Berdikari. Tapi Berdikari juga tidak terlalu fokus. Di samping memiliki peternakan seluas 6.000 ha di Sidrap, Sulsel, PT Berdikari juga mengurus bisnis asuransi, pupuk, dan bahkan mebel.

Dengan hasil kunjungan Presiden ke NT itu mau tidak mau PT Berdikari harus lebih fokus. Urus peternakan saja, tapi habis-habisan. Bidang usaha asuransi, pupuk, dan mebelnya harus dilepas ke BUMN lain. Sebaliknya, PTPN 14 juga harus fokus ke perkebunan dengan cara menyerahkan peternakan di savana Kabaru, Sumba ini ke PT Berdikari.

Saat saya tiba di sabana Kabaru hari sudah malam. Sudah pukul 20.00. Mestinya sudah gelap. Tapi langit Sumba sangat terangnya: rembulan nisfu sya’ban mejeng dengan menornya. Musim dingin di Australia membuat Sumba kebagian pula sejuknya. Sebuah purnama di padang sabana yang sangat sempurna. Sebuah malam yang tidak mungkin didapat di Jakarta.

Malam itu, di gazebo yang diterangi api unggun dan bulan purnama, masa depan padang penggembalaan itu dibicarakan. Di situ ada Dirut PTPN 14 Budi Purnomo, Dirut PT Berdikari Librato El Arif, dan Dirut PTPN 12 Singgih Irwan Basri. Ada juga Pak Wayan manajer peternakan yang sudah tinggal di situ sejak 30 tahun yang lalu. Pak Wayanlah saksi hidup pembangunan, kejayaan, dan kemerosotan peternakan BUMN ini.

Sementara rapat sedang berlangsung, di dapur rumah Pak Wayan puluhan ibu sedang memasak: ayam goreng kampung, telur tanpa kimia, daun pepaya, dan sambal terasi. Rapat pun diskors ketika aroma ayam goreng dan sambal terasi terbawa angin sepoi sabana ke gazebo. Makan malam pun berlangsung di bawah langit malam yang terang disaksikan bulan purnama yang sangat ceria!

Menjelang tengah malam, kesimpulan pun disepakati: peternakan ini harus berjaya kembali. Tentu di bawah manajemen PT Berdikari. Bahkan seperti yang ditekadkan oleh manajemen PTPN 3, peternakan-peternakan di seluruh perkebunan sawit pun akan diserahkan pengelolaannya ke PT Berdikari. Dengan demikian program Sa-Sa (Sapi-Sawit) juga akan mendapatkan manajemen yang tepat.

Yang masih memerlukan kajian lebih lanjut adalah: perlukah peternakan ini dikombinasikan dengan tanaman sorgum. Perlukah mengadopsi sistem kombinasi antara peternakan lepas dan peternakan kandang. Perlukah membangun rumah potong hewan di situ, agar tidak mengalami keruwetan pengiriman sapi lewat laut ke Jawa.

Memang aneh, di pusat peternakan sapi seperti Sumba belum ada industri pemotongan hewan.

Ketika masih jaya-jayanya pun, untuk menjualnya, sapi hasil Kabaru ini harus digiring ke pelabuhan Waingapu yang berjarak hampir 100 km jauhnya. Rombongan sapi itu digiring melalui sabana selama tiga hari tiga malam (malam hari sapi ditidurkan di perjalanan). “Saya sering ikut menggiring dengan cara naik kuda,” kata Pak Wayan.

Susutnya berat sapi dalam proses pengiriman ke Jawa ini tentu tidak akan terjadi kalau ada pemotongan hewan di Sumba. Proses pengiriman dagingnya pun juga bisa lebih sederhana. Di masa lalu mungkin tidak gampang mencari ahli pemotongan dan sumber listrik untuk cold storage-nya. Namun dengan adanya kemajuan pembangunan belakangan ini mestinya berbagai hambatan itu tidak seberat dulu.

Kini, dengan pengelolaan seadanya pun, masih terdapat 3.700 sapi di Kabaru. Jumlah ini sebenarnya perkiraan saja. Menghitung sapi yang dilepas liar di padang yang begitu luas tentu tidaklah mudah. Setiap periode semua sapi memang dikumpulkan di satu kawasan untuk dihitung ulang. Tapi sapi yang terus bergerak sulit dihitung. Pernah suatu saat dipakai cara ini: sapi yang sudah dihitung dipotong buntutnya. Agar ketahuan mana yang sudah dihitung dan mana yang belum. Tapi cara ini menyiksa. Bahkan banyak juga sapi yang sembunyi di gulma-gulma liar yang sulit dimasuki kuda.

Kelak, cara yang lebih modern harus dilakukan. Misalnya di setiap telinga sapi  dipasangi chip yang bisa dimotitor di komputer. Ini sekaligus untuk mengetahui adakah sapi yang dicuri dan apakah ada yang disate di sabana itu sendiri.

Yang juga harus dilakukan adalah mendatangkan pejantan murni. Impor pejantan kelihatannya harus dilakukan secara rutin. Yang terjadi selama ini, sapi-sapi di sabana tersebut sudah saling kawin silang. Bisa jadi pejantan yang ada sudah mengawini ibunya atau neneknya sendiri. Inilah yang menyebabkan sapinya kian mengecil sehingga kurang menguntungkan.

Ini berbeda dengan masa jaya dulu. Di samping didatangkan sapi khusus pejantan, dilakukan pula gerakan pengebirian massal. Setiap lahir sapi jantan, langsung dikebiri. Memang kasihan sapi jantan di situ yang tidak pernah bisa menikmati kejantanannya, namun itulah cara untuk menghindari perkawinan inses yang hanya akan memerosotkan kualitas ternak.

Kekurangan 350.000 ekor sapi setiap tahun bukanlah perkara yang mudah mengatasinya. Satu padang penggembalaan yang begitu luas di Kabaru pun  hanya bisa menghasilkan 5.000an sapi per tahun. Kalau pun nanti dikombinasikan dengan sistem kandang, paling hanya bisa meningkat menjadi 10.000 ekor. Betapa banyak peternakan yang masih harus dibangun.

Tapi bukankah untuk mencapai seribu langkah tetap saja harus ada ayunan pertama?

*Menneg BUMN, Dahlan Iskan

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo