Cerita Tentang Kampungku

Syawalan 2007
Berawal dari cerita Tutur–Tinular dari para sesepuh desa Desa Boja dan dari dukungan dari beberapa buku catatan sejarah terkait dengan keberadaan desa Boja yang tidak lepas dari kegiatan bernama syawalan dan acara ziarah di makam se Dapu Boja, telah berjalan pada setiap tahun hingga sekarang.

Dimulai dari Tokoh yang bernama Ki Ageng Pandanaran yang kita kenal sebagai salah satu Bupati di Semarang, konon adalah Bupati yang pertama. Ki Ageng Pandanaran adalah keturunan dari Pangeran Mode Pandan termasuk keturunan Sultan Demak Raden Bagus Sebrang Lor atau Pangeran Adi Pati Sepuh. Pangeran Mode Pandan mempunyai seorang putra bernama Raden Pandanaran dan seorang putri bernama Ni Pandansari.

Atas kehendak Pangeran Mode Pandan beliau mengajak putra dan putrinya dengan disertai oleh beberapa pengawalnya meninggalkan kota Demak menuju ke arah barat daya guna menyebarkan agama Islam. Dan sampailah disuatu daerah yang bernama pulau tiring dan disitulah beliau mendirikan pesantren.

Dengan keberadaan pesantren tersebut, daerah tresebut semakin ramai dan makmur karena disamping mengajarkan agama Islam, Pangeran Mode Pandan juga mengajarkan tata cara bertani yang baik. Berbagai jenis tanaman tumbuh di pulau tiring, hanya satu jenis pohon yang langka (Bhs : arang) yaitu pohon ASEM. Sehingga suatu ketika daerah yang bernama pulau tiring tersebut berubah menjadi SEMARANG dari kata ASEM dan ARANG. Dan disebut pula bergota karena tempatnya yang berbukit.

Pada suatu ketika putra Pangeran Mode Pandan yang bernama Raden Pandanaran memerintah Semarang sebagai Bupati yang pertama dijuluki Ki Ageng Pandanaran. Oleh karena dipandang sudah cukup untuk menjabat Bupati di Semarang beliau seperti halnya ayahnya, melepas jabatannya sebagai Bupati Semarang dan ingin menyebarkan agama Islam kemudian beliau pergi meninggalkan Semarang menuju ke arah selatan tiba disuatu daerah yang sekarang bernama Tembayat, beliau meninggalkan Tembayat dan dikenal sebagai Sunan Bayat.

Sepeninggal kakanya Raden Pandanaran, Ni Pandansari berkeinginan untuk menyusul jejak kakaknya tersebut dengan mengajak pengawal dan abdi kinasihnya bernama Wonobodro dan Wonosari (terkenal dengan sebutan Ki Wonobodro dan Ki Wonosari). Karena sewaktu akan meninggalkan adiknya tersebut Ki Ageng Pandanaran hanya berpesan akan menyebarkan agama Islam di daerah ke arah selatan, maka pengertian Ni Pandansari bahwa daerah selatan Semarang daerah yang bernama Blimbing Segulung, disitulah kakaknya berada. Sehingga pada suatu ketika rombongan Ni Pandansari sampailah di daerah tersebut yang ternyata perguruan agama (pesantren) dipimpin oleh Ki Jiwaraga. Dan pada saat itulah Ni Pandansari beserta oengikutnya memutuskan untuk diangkat sebagai murid di perguruan tersebut, yang secara langsung dengan suka hati diterima dierima oleh Ki Jiwaraga.

Di sebelah timur perguruan tersebut terdapat dearah yang banyak ditumbuhi berbagai tanaman bunga yang indah-indah, daerah tersebut terkenal dengan nama Tegal Sekaran (sekarang sudah menjadi sawah) dan sifat seoarng perempuan apalagi masih status seorang gadis yang baru menginjak dewasa (diceritakan bahwa Ni Pandansari adalah seorang remaja tergolong berparas cantik dan menawan) kerap bermain dengan sesama para santri di areal tersebut dan suatu ketika bersama kawan-kawannya membuat sayembara untuk saling menunjukkan kemahirannya membuat sumber mata air dan siapa yang berhasil akan mendapat anugerah. Ternyata semua kawan-kawannya tidak berhasil memenangkan sayembara tersebut, sehingga Ni Pandansari menancapkan kerisnya (Bhs Jawa : CIS atau Keris Kecil) di tanah sehingga berkat kekuasaan Allah, munculah sumber / mata air di lokasi dimana keris tersebut ditancapkan dan kelak sumber mata air tersebut bernama sendang Sebrayat atau juga disebut juga sendang Sebrayut. Karena dari sumber air tersebut bisa dimanfaatkan untuk keperluan mandi cuci, untuk pengairan sawah/tegalan bahkan konon apabila keluarga yang sudah lama belum memiliki keturunan (anak) air dari sumber tersebut bisa digunakana untuk sarat memperoleh keturunan (atas seijin Allah).

Suatu ketika di perguruan tersebut kedatangan seorang pemuda nan gagah perkasa, utusan dari Keraton Cirebon bernama K Dhapuraja (konon masih keturunan Sultan Cirebon) dan ikut berguru agama Islam di Perguruan Blimbing Segulung tersebut. Ada pepatah witing tresno jalaran saking kulino, maka kedua sejoli antara Ni Pandansari dengan Ki Dhapuraja timbul saling cinta mencintai dan berkat petunjuk Allah, maka kedua sejoli tersebut oleh Ki Jiwaraga dinikahkan dan hidup sebagai suami isteri.

Pada suatu ketika Ni Pandansari dan Ki Dhapuraja berpamitan kepada Ki Jiwaraga untuk hidup mandiri, kemudian kedua suami isteri tersebut pergi ke arah utara dengan diikuti oleh para pengiringnya termasuk abdi kinasihnya. Dan membuka daerah baru untuk tempat penyebaran agama Islam sekaligus untuk tempat tinggal (kini tempat tersebut disebut waqaf (langgar waqaf), karena di atasnya berdiri bangunan langgar. Karena kesulitan air untuk keperluan keluarga dan keperluan lainnya, maka Ni Pandansari mengajak suaminya untuk membuat saluran air yang airnya diambil dari sendang Sebrayut, namun suaminya tidak sanggup. Sehingga pembuatan saluran dilaksanakan sendiri oleh Ni Pandansari dengan cara; Menggeret setagen (Bhs Jawa : Bengkung) dan atas izin Allah air mengalir mengikuti arah stagen/bengkung yang ditarik sampai di lokasi. Oleh karena Ni Pandansari juga dikenal dengan sebutan Nyai Dapu, maka saluran tersebut sampai sekarang juga disebut se Dapu. Saluran se Dapu sampai sekarang dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan untuk pertanian.

Ki Dhapuraja atau juga disebut Kyai Dapu berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke suatu daerah dan konon saking semangatnya nasehat Ni Pandansari (Nyai Dapu) tidak diindahkan, keinginan pergi tetap berjalan dan Kyai Dhapuraja meninggalkan istrinya. Ada suatu tempat yang oleh masyarakat sampai sekarang diberi nama Pasinan atau terkenal dengan nama Masinan, ada sumber (mata air) yang satu keluar air panas dan satunya kekuar air dingin, air yang panas tersebut melambangkan perasaan sang suami karena saking semangatnya untuk pergi dan sebaliknya air yang dingin melanmbangkan perasaan seorang isteri yang ditinggal suami dengan sabar dan tidak emosi. Tempat daerah dimana Kyai Dhapu tinggal, sekarang disebut Dusun Sedapu (Ndapu) salah satu dusun di Desa Kaliputih Kecamatan Singorojo Kab. Kendal.

Sepeninggal Kyai Dhapu, Nyai Dhapu atau Ni Pandansari tinggal bersama abdi kinasihnya bernama Ki Wonobodro dan ki Wonosai yang kelak Ki Wonosari pergi ke suatu tempat yang sekarang bernama Dusun Pilang ikut wilayah Desa Boja Kecamatan Boja Kab. Kendal dan wafat serta dikubur di Dusun Pilang (pepunden warga Dusun Pilang khususnya).

Konon cerita Ki Wonobodro mempunyau seorang anak bernama Kyai Bojo yang kemudian menjadi Lurah pertama di Desa yang kemudian dikenal dengan Desa Boja di samping itu juga masih membantu menyebarkan agama Islam seperti yang dilakukan Ni Pandansari dan Ki Wonobodro. Akhir hayatnya Nyai Dapu dikubur di makam Sedapu sekarang ini, sedangkan Kyai Bojo berada di pekuburan sebelah selatan. Kyai Boja memiliki pribadi yang sederhana, sampa makamnyapun tida mau dibuat yang permanen, beliau seorang pemimpin yang baik dan dihormati oleh masyarakatnya dan tidak senang dipuja, bahkan pohon yang berada di sekitar makamnya juga menghormat kepadanya (bisa dibuktikan sampai sekarang).

Tidak ada catatan sejarah sepeninggal Kyai Boja siapa yang menjadi Lurah Desa Boja selanjutnya, hanya pada zaman perang kemerdekaan; ada seorang Lurah bernama KROMOREDJO – yang konon juga sangat disegani oleh masyarakat, berwibawa, karena termasuk pejuang pada waktu itu, kebetulan Desa Boja termasuk daerah pendudukan Belanda (NICA) pada waktu itu, sehingga setiap siang hari wilayah Desa Boja ditinggal warganya termasuk luranya pada waktu itu meninggalkan Boja pergi ke daerah pinggiran desa untuk mengatur strategi perang gerilya dan setiap malam hari baru berani masuk ke desa. Sehingga ada cerita pada waktu perang gerilya tersebut karena dipandang oleh Pemerintah Hindia Belanda (NICA) Pemerintahan Desa Boja kosong, sehingga oleh Belanda ditunjuk seorang warga untuk menjadi Lurah (orang tersebut bernama SUMARYONO). Setelah keadaan kembali normal desa dipimpin lagi oleh KROMOREDJO – sampai akhir hayatnya dan digantikan oleh WIRYO MARTONO sebagai Lurah Boja yang baru sampai dengan sekitar tahun 1972, Tahun 1972 s/d tahun 1988 diganti oleh KUNDHORI REKSORAHARDJO dan tahun 1989 s/d tahun 1999 SOEGITO dan tahun 1999 hingga 2009 oleh TEGUH EKO SANTOSO. Sedangkan kepala desa sekarang adalah NURHADI, S.H.

Nyai Dhapu (Ni Pandansari) sampai sekarang masih dihormati dan makamnya banyak dikunjungi peziarah baik warga Desa Boja maupun luar Desa Boja. Setiap bulan Syawal (seminggu setelah lebaran) menjadi tempat Syawalan bagi warga masyarakat Boja dan sekitarnya bahkan banyak peziarah dari daerah Sumowono dan sekitarnya. Tradisi Syawalan yang telah berlangsung cukup lama layak untuk tetap dipertahankan dalam rangka melestarikan budaya masyarakat sekaligus sebagai aset wisata rohani.


Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Pemerintah Kabupaten Kendal Kecamatan Boja Desa Boja Tahun 2006-2010 dan http://jingganyasenja.wordpress.com/

Link lain tentang Desa Boja:
http://regional.kompas.com/
Nama Nyai Pandansari Tetap Melekat

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo

Diagram Bagian-Bagian Daging Sapi Bagian #1