Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo

Syawalan Boja 1434 H
Suatu wilayah pasti tidak lepas dari terjadinya sebuah peristiwa dimasa lampau. Dan juga didramatisir dengan kisah-kisah mistis atau mitos yang kadang tidak bisa dicerna menggunakan akal sehat. Namun bagaimanapun juga hal itu adalah kisah yang menjadi sejarah dari sebuah wilayah atau sebuah bangsa.

Boja adalah desa di kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah, Indonesia. Boja berjarak sekitar 27 kilometer dari Kota Semarang. Sebuah kota kecil dengan penduduk kurang lebih 6,000 jiwa dengan tingkat densitas 500 jiwa/km2.

Boja memiliki sejarah yang unik, dikarenakan ada kisah yang menceritakan bagaimana Desa Boja itu terjadi atau ada pada masa lalu. Ada dua versi yang menceritakan Desa Boja. Yang pertama adalah versi dari Babad Mataram Kuno dan yang kedua adalah versi penyebaran agama Islam di wilayah Semarang bagian atas.

Sejarah Desa Boja versi Babad Mataram Kuno
Sedangkan menurut babad  Mataram Kuno yang mengisahkan kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di sekitar Dieng dan Kedu, Boja merupakan sebuah kota yang menjadi salah satu daerah pengungsian korban meletusnya Gunung Sindoro.
Adege negara MEDHANG-Metaram I 
In taun Masehi: 725, ana wong Kanung wegig saka Medhang-Kamulan (Teluk Lusi Blora) kang isih klebu trah-tedhake Dattsu Dewi Simah, asmane  Hang Sanjaya. Dheweke ngajak wong-wong Medhang Kamulaan, wong-wong Keling lan wong-wong Rananggana, diajak bebadra nggalang Banjar papane ning bumi sawetane Gunung Dieng, punjere Banjar dumunung ning Adireja sawetane Gunung Buthak (Kabupaten Temanggung). 
Wong-wong mau ngumpul ning wong-wong Kanung sisane panjebluge Gunung Dieng sing manggon desa-desa: Gemawang, Kemiri, Limbangan, Boja, wong-wong mau Agamane Hindhu-Kanung pemuja Lembu-Nandhi lan Lingga-Yoni.  Hang Sanjaya nggone nggalang banjar lan punjere kutha dumunung ning Adireja kuwi perlune:
  1. Nedya nguripake penambangan wlirang sing wis pusa kanggo pedagangan maneh karo negara China.
  2. Supaya bisa cedhak nggone ngirup Desa-desa sing biyene dadi Krerehane Leluhur Endriya pra Astha.
  3. Sesambungan dagang karo negara Sabrang nggunakake plabuhan Teluk-Bodri sing ngongkang segara Jawa, nuli munggah pagenengan Singaraja, Sukareja, lan Candhirata mbanjur tutug Adireja.
Hang Sanjaya menehi jeneng negarane mau aran: Medhang-Metriyem (Tegese: Babone saka Medhang), lawas-lawas tembung kuwi malih luntur dadi: Medhang-Metaram
Wong  Medhang-Metaram kuwi agamane rupa-rupa:
  1. Hang Sanjaya dhewe agamane Buddha-Kanung naluri saka Leluhur Keling Bhikku Janabadra.
  2. Wong-wong pinter mentereng-kutha agamane Hindhu-Chola.
  3. Wong kolod pemuja Lingga-Yoni pemundhi Sembok/Semak isih agama Hindhu-Kanung.
  4. Wong Cilik Sudra-papa urip rekasa rejekine ora mingsra, ora butuh ning Agama ora mikir swarga-neraka. Butuhe mung ngupaboga nggo nyampeti kaluwarga.
Wong  Medhang-Metaram kuwi sanajan Kapercayan lan Agamane rupa-rupa, nanging padha bisa rukun gotong-royong setya ning Negara/Praja. Nalika netepake adege negara  Medhang-Metaram lan Undhang-undhang pranatane Praja, swarane sing menang: Wong sing ngagungake Sastra Palawa lan Taun Syaka. 
Swarane wong sing ngugemi sastra lan titi taun jawa Hwuning dadi kalah, dianggep Kolod wis ora njamani (Sanepane dianggep kaya Baya-putih sing wis tuwek-loyo). Wusanane sastra Jawa-Purwa karangane  Dattsu Dewi Simah, lan taun Jawa-Hwuning karangane Dhanhyang Kie Seng Dhang malih ora dikanggokake dadi kabur ilang. Negara  Medhang-Metaram ngganti resmi ngunakake sastra Palawa lan taun Syaka nalika taun 654 (=Tahun Masehi: 732). 
Tan Syaka kuwi taun Pengetan nalika jumenenge Raja Khaniska I wangsa Kushana, diwisuda dadi Narendra negara Chola India Kidul. Dadi dudu asli taune wong Jawa-Purwa. 
Dongeng Crita-Legendha:
Pujangga Jawa nggawe crita Aji Saka (=Kabudayan Saka) ngalahake Baya-Putih (=Kabudayan Suci Jawa-Hwuning). Matine sampyuh perang abdi-loro Dora Sambada rebutan kerise Bendarane dikarang digawe Crita dumadine Sastra Jawa-Legena (Jawa-anyar):
HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DHA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA
Terjemahan kisah di atas:
Berdirinya Negara Medang Mataram
Di tahun 725 Masehi, ada orang pintar/mumpuni dari bangsa Kanung yang berasal dari Negara Medang Kamulan (Teluk Lusi Blora) yang masih termasuk dalam keturunan atau keluarga  Dattsu Dewi Simah (Ratu Shima) yang bernama  Hang Sanjaya (cikal bakal Wangsa Sanjaya). Dia mengajak orang-orang Medang Kamulan, orang Keling, dan orang Raranggana untuk mendirikan sebuah pemukiman di wilayah sebelah timur Gunung Dieng, pusat dari pemukiman itu adalah di Adireja (sekarang Ngadirejo) sebelah timur Gunung Buthak (Kabupaten Temanggung). 
Orang-orang tadi bermukim di orang-orang Kanung yang tersisa setelah terjadinya bencana meletusnya Gunung Dieng yang berada di desa: Gemawang, Kemiri, Limbangan, dan Boja. Orang-orang tadi beragama Hindu-Kanung pemuja Lembu Nandi dan Lingga Yoni. Hang Sanjaya dalam mendirikan pemukiman itu mempunyai tujuan:
  1. Menghidupkan penambangan belerang yang sudah tidak aktif lagi untuk mengadakan perdagangan dengan Negara China.
  2. Agar lebih dekat dalam memantau desa-desa yang dulu menjadi wilayah leluhur Endriya Praastha (Negara Indraprastha?)
  3. Berhubungan dagang dengan Negara seberang dengan mempergunakan pelabuhan Teluk Bodri (Cepiring) yang mencover Laut Jawa hingga Pegunungan Singaraja (Singorojo), Sukareja, dan Candirata hingga mencapai Adireja.
Hang Sanjaya kemudian memberikan nama kepada pemukiman (cikal bakal Negara) itu dengan Medang Metriyem (yang berarti Induk dari Medang), dan lama-lama penyebutan itu luntur menjadi:  Medhang-Metaram
Penduduk  Medhang-Metaram memeluk agama berbeda-beda:
  1. Hang Sanjaya sendiri memeluk agama Budha Kanung, sesuai keturunan dari leluhur Keling, Bhikku Jannabadra.
  2. Orang-orang pintar dan kaya di kota-kota besar memeluk agama Hindu Chola
  3. Orang desa pemuja Lingga Yoni yang menjunjung Simbok/Simah masih memeluk agama Hindu Kanung.
  4. Orang-orang kecil dan miskin, banyak yang tidak memeluk agama, tidak memikirkan surge-neraka. Kebutuhan mereka hanya berusaha mencari rejeki untuk menghidupi keluarga mereka.
Penduduk  Medhang-Metaram meskipun agama dan kepercayaannya berbeda-beda, namun bisa hidup  rukun bergotong-royong dan setia pada pemerintahan. Ketika menetapkan berdirinya Negara  Medhang-Metaram dan undang-undang resmi, suara terbanyak adalah suara dari orang-orang yang menjunjung huruf Pallawa dan Tahun Saka. 
Suara dari orang-orang yang masih berpegangan teguh pada sastra dan perhitungan tahun Jawa Hwuning kalah, dianggap kolot tidak sesuai dengan jaman (hingga muncul istilah dianggap seperti Buaya Putih yang sudah tua). Pada akhirnya sastra Jawa-Purwa hasil karya  Dattsu Dewi Simah (Simah/Shima), dan tahun Jawa Hwuning karangan Dhanghyang Kie Seng Dhang (China?) menjadi tidak dipergunakan hingga hilang musnah. Negara  Medhang-Metaram resmi menggunakan huruf Pallawa dan tahun Saka pada tahun 654 C (732 M). 
Tahun Saka adalah tahun peringatan kenaikan tahta Raja Khaniska I dari bangsa Kushana yang diwisuda menjadi Raja di Negara Chola (India Selatan). Jadi bukan merupakan tahun asli orang Jawa Purwa. 
Dongeng cerita atau legenda: 
Pujangga Jawa membuat cerita Aji Saka (Kebudayaan Saka?) yang mengalahkan Buaya Putih (Kebudayaan asli Jawa Hwuning). Matinya dua orang abdi, Dora-Sambada yang memperebutkan keris majikannya dijadikan cerita munculnya tulisan Jawa-Legena (Jawa Anyar).
Perkiraan jalur perniagaan Medang Mataram - Pelabuhan Bodri 
Dari cuplikan babad di atas, bisa disimpulkan bahwa Desa Boja sudah ada pada jaman Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di wilayah Kedu. (sumber)
  Sedangkan sejarah Desa Boja versi lainnya mengatakan bahwa:
Sejarah Desa Boja dimulai dari tokoh yang bernama Ki Ageng Pandanaran yang kita kenal sebagai salah satu Bupati di Semarang, konon adalah Bupati yang pertama. Ki Ageng Pandanaran adalah keturunan dari Pangeran Mode Pandan termasuk keturunan Sultan Demak Raden Bagus Sebrang Lor atau Pangeran Adi Pati Sepuh. Pangeran Mode Pandan mempunyai seorang putra bernama Raden Pandanaran dan seorang putri bernama Ni Pandansari. Atas kehendak Pangeran Mode Pandan beliau mengajak putra dan putrinya dengan disertai oleh beberapa pengawalnya meninggalkan kota Demak menuju ke arah barat daya guna menyebarkan agama Islam. Dan sampailah disuatu daerah yang bernama pulau tiring dan disitulah beliau mendirikan pesantren. Dengan keberadaan pesantren tersebut, daerah tresebut semakin ramai dan makmur karena disamping mengajarkan agama Islam, Pangeran Mode Pandan juga mengajarkan tata cara bertani yang baik. Berbagai jenis tanaman tumbuh di pulau tiring, hanya satu jenis pohon yang langka (Bhs. Jawa: arang) yaitu pohon ASEM. Sehingga suatu ketika daerah yang bernama pulau tiring tersebut berubah menjadi SEMARANG dari kata ASEM dan ARANG. Dan disebut pula bergota karena tempatnya yang berbukit. 
Pada suatu ketika putra Pangeran Mode Pandan yang bernama Raden Pandanaran memerintah Semarang sebagai Bupati yang pertama dijuluki Ki Ageng Pandanaran. Oleh karena dipandang sudah cukup untuk menjabat Bupati di Semarang beliau seperti halnya ayahnya, melepas jabatannya sebagai Bupati Semarang dan ingin menyebarkan agama Islam kemudian beliau pergi meninggalkan Semarang menuju ke arah selatan tiba disuatu daerah yang sekarang bernama Tembayat, beliau meninggalkan Tembayat dan dikenal sebagai Sunan Bayat. 
Sepeninggal kakanya Raden Pandanaran, Ni Pandansari berkeinginan untuk menyusul jejak kakaknya tersebut dengan mengajak pengawal dan abdi kinasihnya bernama Wonobodro dan Wonosari (terkenal dengan sebutan Ki Wonobodro dan Ki Wonosari). Karena sewaktu akan meninggalkan adiknya tersebut Ki Ageng Pandanaran hanya berpesan akan menyebarkan agama Islam di daerah ke arah selatan, maka pengertian Ni Pandansari bahwa daerah selatan Semarang daerah yang bernama Blimbing Segulung, disitulah kakaknya berada. Sehingga pada suatu ketika rombongan Ni Pandansari sampailah di daerah tersebut yang ternyata perguruan agama (pesantren) dipimpin oleh Ki Jiwaraga. Dan pada saat itulah Ni Pandansari beserta oengikutnya memutuskan untuk diangkat sebagai murid di perguruan tersebut, yang secara langsung dengan suka hati diterima dierima oleh Ki Jiwaraga. 
Di sebelah timur perguruan tersebut terdapat dearah yang banyak ditumbuhi berbagai tanaman bunga yang indah-indah, daerah tersebut terkenal dengan nama Tegal Sekaran (sekarang sudah menjadi sawah) dan sifat seorang perempuan apalagi masih status seorang gadis yang baru menginjak dewasa (diceritakan bahwa Ni Pandansari adalah seorang remaja tergolong berparas cantik dan menawan) kerap bermain dengan sesama para santri di areal tersebut dan suatu ketika bersama kawan-kawannya membuat sayembara untuk saling menunjukkan kemahirannya membuat sumber mata air dan siapa yang berhasil akan mendapat anugerah. Ternyata semua kawan-kawannya tidak berhasil memenangkan sayembara tersebut, sehingga Ni Pandansari menancapkan kerisnya (Bhs Jawa: CIS atau Keris Kecil) di tanah sehingga berkat kekuasaan Allah, munculah sumber/mata air di lokasi dimana keris tersebut ditancapkan dan kelak sumber mata air tersebut bernama Sendang Sebrayat atau juga disebut juga Sendang Sebrayut. Karena dari sumber air tersebut bisa dimanfaatkan untuk keperluan mandi cuci, untuk pengairan sawah/tegalan bahkan konon apabila keluarga yang sudah lama belum memiliki keturunan (anak) air dari sumber tersebut bisa digunakana untuk sarat memperoleh keturunan (atas seijin Allah). 
Suatu ketika di perguruan tersebut kedatangan seorang pemuda nan gagah perkasa, utusan dari Keraton Cirebon bernama K Dhapuraja (konon masih keturunan Sultan Cirebon) dan ikut berguru agama Islam di Perguruan Blimbing Segulung tersebut. Ada pepatah witing tresno jalaran saking kulino, maka kedua sejoli antara Ni Pandansari dengan Ki Dhapuraja timbul saling cinta mencintai dan berkat petunjuk Allah, maka kedua sejoli tersebut oleh Ki Jiwaraga dinikahkan dan hidup sebagai suami isteri. 
Pada suatu ketika Ni Pandansari dan Ki Dhapuraja berpamitan kepada Ki Jiwaraga untuk hidup mandiri, kemudian kedua suami isteri tersebut pergi ke arah utara dengan diikuti oleh para pengiringnya termasuk abdi kinasihnya. Dan membuka daerah baru untuk tempat penyebaran agama Islam sekaligus untuk tempat tinggal (kini tempat tersebut disebut waqaf (langgar waqaf), karena di atasnya berdiri bangunan langgar. Karena kesulitan air untuk keperluan keluarga dan keperluan lainnya, maka Ni Pandansari mengajak suaminya untuk membuat saluran air yang airnya diambil dari sendang Sebrayut, namun suaminya tidak sanggup. Sehingga pembuatan saluran dilaksanakan sendiri oleh Ni Pandansari dengan cara; Menggeret setagen (Bhs Jawa: Bengkung) dan atas izin Allah air mengalir mengikuti arah stagen/bengkung yang ditarik sampai di lokasi. Oleh karena Ni Pandansari juga dikenal dengan sebutan Nyai Dapu, maka saluran tersebut sampai sekarang juga disebut se Dapu. Saluran se Dapu sampai sekarang dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan untuk pertanian. 
Ki Dhapuraja atau juga disebut Kyai Dapu berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke suatu daerah dan konon saking semangatnya nasehat Ni Pandansari (Nyai Dapu) tidak diindahkan, keinginan pergi tetap berjalan dan Kyai Dhapuraja meninggalkan istrinya. Ada suatu tempat yang oleh masyarakat sampai sekarang diberi nama Pasinan atau terkenal dengan nama Masinan, ada sumber (mata air) yang satu keluar air panas dan satunya kekuar air dingin, air yang panas tersebut melambangkan perasaan sang suami karena saking semangatnya untuk pergi dan sebaliknya air yang dingin melanmbangkan perasaan seorang isteri yang ditinggal suami dengan sabar dan tidak emosi. Tempat daerah dimana Kyai Dhapu tinggal, sekarang disebut Dusun Sedapu (Ndapu) salah satu dusun di Desa Kaliputih Kecamatan Singorojo Kab. Kendal. 
Sepeninggal Kyai Dhapu, Nyai Dhapu atau Ni Pandansari tinggal bersama abdi kinasihnya bernama Ki Wonobodro dan ki Wonosai yang kelak Ki Wonosari pergi ke suatu tempat yang sekarang bernama Dusun Pilang ikut wilayah Desa Boja Kecamatan Boja Kab. Kendal dan wafat serta dikubur di Dusun Pilang (pepunden warga Dusun Pilang khususnya). 
Konon cerita Ki Wonobodro mempunyai seorang anak bernama Kyai Boja yang kemudian menjadi Lurah pertama di Desa yang kemudian dikenal dengan Desa Boja di samping itu juga masih membantu menyebarkan agama Islam seperti yang dilakukan Ni Pandansari dan  Ki Wonobodro. Akhir hayatnya Nyai Dapu dikubur di makam Sedapu sekarang ini, sedangkan Kyai Bojo berada di pekuburan sebelah selatan. Kyai Boja memiliki pribadi yang sederhana, sampa makamnyapun tida mau dibuat yang permanen, beliau seorang pemimpin yang baik dan dihormati oleh masyarakatnya dan tidak senang dipuja, bahkan pohon yang berada di sekitar makamnya juga menghormat kepadanya (bisa dibuktikan sampai sekarang). (sumber)


Lihat Peta Lebih Besar

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat