Macet?


2012: Penjualan Mobil di Indonesia Sudah Mencapai 816.322 unit

Kamis, 18 Oktober 2012 | 11:05 WIB

Jakarta, KompasOtomotif – Berdasarkan data terakhir yang diterima KompasOtomotif, penjualan mobil penumpang dan kendaraan komersial dari distributor ke dealer alias whole sales (WS) di Indonesia sampai akhir September lalu sudah mencapai 816.322 unit atau naik 23,7 persen dibandingkan periode yang sama dari tahun sebelumnya, 659.839 unit.

Khusus selama September, dengan ada pameran mobil terbesar mobil di Indonsia (Asia Tenggara), penjualan mobil naik lagi hampir menyamai Juli 2012, yaitu 102.111 unit.
Dengan pencapaian tersebut, wajar saja banyak pengamat otomotif menilai, tahun depan Indonesia akan menjadi pasar mobil terbesar di Asean. Apalagi, program “the first-time car-buyer scheme” di Thailand pada berakhir di penghujung tahun ini yang bisa mendongkrak penjualan mobil di negara tersebut sampai 500.000 unit.

Untuk mencapai satu juta unit pada tahun ini, dalam tiga terakhir 2021,  harus bisa menjual 190.000 unit atau rata-rata 65.000 unit setiap bulannya.


Miris mengetahui hal yang seperti ini. Seperti memakan buah simalakama. Disatu sisi menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang “pesat” namun disisi lain menjadi kanker pembunuh, selain menyajikan tingkat kemacetan yang tinggi juga menimbulkan emisi polusi yang dapat memandulkan manusia. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor tidak sebanding dengan ketersediaan infrastruktur transportasi seperti jalan. Sehingga kemacetan tidak terhindarkan.

Sebagai negara yang masih berkembang, tentu masyarakatnya, berlomba-lomba menuju ke penghidupan yang lebih baik. Pada umumnya, mereka mengukur kesuksesan dengan memiliki kendaraan roda 4 (mobil). Ada kebanggaan dalam dirinya dan ingin menunjukkan kepada keluarga, teman, dan masyarakat di sekelilingnya bahwa ia telah sukses. Semakin banyak mobil semakin kaya (sukses) dan banggalah ia.

Hal yang juga memicu kemacetan adalah jumlah penduduk. Orang berlomba-lomba hijrah ke Jakarta mencari pekerjaan atau kehidupan yang lebih layak. Umumnya, putra-putri terbaik daerah yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi hijrah ke Jakarta. Bahkan yang tidak berpendidikan pun semuanya hijrah ke Jakarta. Ibaratnya Jakarta adalah gula yang dikerebuti oleh semut. Sehingga menimbulkan banyak masalah, seperti pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, kesenjangan sosial, kepadatan penduduk, dan lain-lain. Kenapa bisa terjadi demikian? Hal itu dapat disebabkan karena pembangunan yang tidak merata. Jakarta sebagai Ibukota negara mendapat perhatian yang berlebihan dalam semua aspek pembangunan, baik industri, infra suruktur maupun birokrasinya. 

Sementara daerah lain mendapatkan porsi dan perhatian yang lebih kecil. Sehingga terjadi ketidakseimbangan. Belum lagi pembangunan banyak yang tidak berorientasi lingkungan, sehingga dampaknya menjadi rawan banjir, longsor. dan sebagainya. Dampak yang lebih besar mungkin saja akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang. Jakarta sepertinya tempat untuk praktek segala aktivitas kehidupan di Indonesia, tanpa ada perencanaan yang matang.

Sebagai sebuah negara yang luas dan terdiri dari banyak pulau dan jumlah penduduk yang besar. Perlu dipikirkan suatu sistem yang sesuai dalam menata negara ini. Mungkin kita bisa meniru sistem yang dipakai di Amerika Serikat, karena hampir ada kemiripan dalam hal luas daerah dan jumlah penduduk.

Ide tentang perpindahan ibu kota dan pembagian daerah (kota) sesuai dengan aktifitas terbesarnya juga mungkin merupakan solusi yang bisa dipertimbangkan, dipikirkan dan direncanakan secara matang. Namun itu merupakan solusi jangka panjang. Yang harus segera dilaksanakan, yaitu bagaimana untuk segera mengatasi kemacetan di Jakarta. Berikut ini, mungkin bisa menjadi solusi dalam mengatasi kemacetan di Jakarta, antara lain:
  1. Jalur three in one lebih diperluas wilayahnya dan tidak menggunakan batas waktu.
  2. Jalan-jalan yang dilalui busway yang menyebabkan penyempitan badan jalan harus segera diperlebar.
  3. Membangun transportasi massal lain, seperti misalnya subway atau monorel
  4. Menerapkan usia kendaraan yang layak beroperasi. Ini juga dapat mengurangi polusi.
  5. Meningkatkan tarif pajak kendaraan bermotor, khususnya kendaraan roda empat.
  6. Mengadakan pelatihan atau seminar kepada supir-supir angkutan umum  tentang keselamatan dan peraturan berlalu lintas.
  7. Menegakkan aturan dengan menindak tegas semua pelanggar lalu lintas tanpa kecuali ataupun oknum polisi yang berbuat pungli.
  8. Memperbanyak dan terus menerus mengingatkan masyarakat melalui spanduk, brosur, ataupun iklan tentang disiplin berlalu lintas. Baik di media Cetak ataupun media elektronik.
Apa yang penulis kemukakan di atas sangat mungkin sudah dipikirkan oleh pejabat yang berkepentingan, para ahli ataupun pemerhati transportasi. Namun kenyataannya sampai saat ini hampir tidak ada aksi yang nyata, dalam mengatasi kemacetan di Jakarta. kalaupun ada, maaf hanya panas-panas tahi ayam. Di negara ini terlalu banyak orang pintar, tetapi sangat sedikit orang yang bisa atau mau mengimplementasikan ilmu yang dimilikinya. Mungkin juga sangat berhubungan dengan kesejahteraan. Karena pemerintah atau pejabat, lebih memikirkan perut sendiri dari pada memikirkan perut rakyat. Memang diperlukan dana yang tidak sedikit, tapi kalau dibandingkan dengan uang negara yang lenyap akibat korupsi..wah tidak bisa dibayangkan!

Akhir kata, sebagai warga negara, penulis merasa terpanggil untuk memberikan pikiran-pikiran yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh pejabat yang berkepentingan. Kalaupun tidak, setidaknya penulis telah berusaha memikirkan kemajuan kita bersama.


Daripada pusing kena macet mendingan dengerin musik dulu deh ...



Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo