FPI dan Insiden Kendal
Munculnya kekerasan di Kendal, Jawa Tengah, sekali lagi memperlihatkan lemahnya penegakan hukum. Anggota Front Pembela Islam dibiarkan melakukan sweeping yang kemudian memicu kemarahan penduduk setempat. Perbuatan main hakim sendiri dibalas dengan tindakan serupa. Negara seolah hanya menjadi penonton.
Sulit membenarkan tindakan anggota FPI yang sebagian datang dari Temanggung dan Semarang itu. Bak penegak hukum, mereka menyisir tempat pelacuran dan perjudian di kawasan Sukorejo, Kendal. Penduduk yang tidak mentoleransi tindakan ini lalu mengepung rombongan FPI. Sebagian membakar mobilnya.
Bentrokan itu juga menimbulkan korban jiwa. Seorang wanita yang diboncengkan dengan sepeda motor oleh suaminya tertabrak mobil rombongan FPI. Si suami, yang lebih dulu terpental, selamat. Tapi sang istri sempat terseret mobil, lalu jatuh terlindas kendaraan kelompok itu, dan akhirnya meninggal. Insiden ini semakin membuat panas konflik antara penduduk Kendal dan kelompok FPI.
Tindakan aktivis FPI yang main sweeping jelas keliru. Bukan kelompok ini yang berwenang menertibkan tempat maksiat, melainkan pemerintah daerah atau kepolisian. Bisa saja anggota FPI berdalih bahwa tindakan itu terpaksa dilakukan karena polisi tidak bergerak. Tapi pembenaran ini akan menghancurkan tatanan masyarakat, bahkan negara.
Dalih yang sama bisa digunakan kelompok mana pun untuk berbuat serupa. Kelompok yang menyerang balik juga bisa berdalih bahwa mereka bergerak karena tak ada tindakan penegak hukum terhadap anggota FPI. Pengingkaran terhadap fungsi negara sebagai penjaga ketertiban ini akan menciptakan lingkaran kekerasan yang tak berujung.
Itulah pentingnya hukum diberlakukan terhadap siapa pun yang berbuat onar. Pemerintah harus bersikap tegas terhadap aktivis FPI karena kelompok ini sudah sering melakukan tindakan serupa dan mengundang keributan masyarakat. Pengurus organisasi tersebut bahkan pernah dihadang oleh masyarakat Dayak di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangkaraya, oleh warga Dayak. Di Jombang, Jawa Timur, kelompok itu juga ditolak oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan.
Setiap orang memang memiliki kebebasan berorganisasi. Tapi kita sulit membenarkan keberadaan organisasi yang anggotanya kerap melakukan kekerasan. Masalah ini sebetulnya telah diatur dalam Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang baru. Organisasi semacam ini bisa diberi peringatan oleh pemerintah. Sanksi pembekuan sementara pun bisa diberikan bila organisasi itu berulang-ulang melanggar ketertiban. Hanya, undang-undang tersebut sekarang belum berlaku efektif karena belum ditandatangani oleh Presiden.
Kendati begitu, penegak hukum tetap bisa mengusut insiden di Kendal itu dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tak cukup menetapkan sejumlah pelaku di lapangan sebagai tersangka, kepolisian semestinya menyentuh pula dalang sweeping yang memicu konflik sosial itu. Jangan biarkan ketertiban masyarakat, bahkan tatanan negara, koyak karena adanya tindakan kekerasan yang terlalu ditoleransi.
Sumber: http://www.tempo.co/read/opiniKT/2013/07/23/4942/FPI-dan-Insiden-Kendal
Sulit membenarkan tindakan anggota FPI yang sebagian datang dari Temanggung dan Semarang itu. Bak penegak hukum, mereka menyisir tempat pelacuran dan perjudian di kawasan Sukorejo, Kendal. Penduduk yang tidak mentoleransi tindakan ini lalu mengepung rombongan FPI. Sebagian membakar mobilnya.
Bentrokan itu juga menimbulkan korban jiwa. Seorang wanita yang diboncengkan dengan sepeda motor oleh suaminya tertabrak mobil rombongan FPI. Si suami, yang lebih dulu terpental, selamat. Tapi sang istri sempat terseret mobil, lalu jatuh terlindas kendaraan kelompok itu, dan akhirnya meninggal. Insiden ini semakin membuat panas konflik antara penduduk Kendal dan kelompok FPI.
Tindakan aktivis FPI yang main sweeping jelas keliru. Bukan kelompok ini yang berwenang menertibkan tempat maksiat, melainkan pemerintah daerah atau kepolisian. Bisa saja anggota FPI berdalih bahwa tindakan itu terpaksa dilakukan karena polisi tidak bergerak. Tapi pembenaran ini akan menghancurkan tatanan masyarakat, bahkan negara.
Dalih yang sama bisa digunakan kelompok mana pun untuk berbuat serupa. Kelompok yang menyerang balik juga bisa berdalih bahwa mereka bergerak karena tak ada tindakan penegak hukum terhadap anggota FPI. Pengingkaran terhadap fungsi negara sebagai penjaga ketertiban ini akan menciptakan lingkaran kekerasan yang tak berujung.
Itulah pentingnya hukum diberlakukan terhadap siapa pun yang berbuat onar. Pemerintah harus bersikap tegas terhadap aktivis FPI karena kelompok ini sudah sering melakukan tindakan serupa dan mengundang keributan masyarakat. Pengurus organisasi tersebut bahkan pernah dihadang oleh masyarakat Dayak di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangkaraya, oleh warga Dayak. Di Jombang, Jawa Timur, kelompok itu juga ditolak oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan.
Setiap orang memang memiliki kebebasan berorganisasi. Tapi kita sulit membenarkan keberadaan organisasi yang anggotanya kerap melakukan kekerasan. Masalah ini sebetulnya telah diatur dalam Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang baru. Organisasi semacam ini bisa diberi peringatan oleh pemerintah. Sanksi pembekuan sementara pun bisa diberikan bila organisasi itu berulang-ulang melanggar ketertiban. Hanya, undang-undang tersebut sekarang belum berlaku efektif karena belum ditandatangani oleh Presiden.
Kendati begitu, penegak hukum tetap bisa mengusut insiden di Kendal itu dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tak cukup menetapkan sejumlah pelaku di lapangan sebagai tersangka, kepolisian semestinya menyentuh pula dalang sweeping yang memicu konflik sosial itu. Jangan biarkan ketertiban masyarakat, bahkan tatanan negara, koyak karena adanya tindakan kekerasan yang terlalu ditoleransi.
Sumber: http://www.tempo.co/read/opiniKT/2013/07/23/4942/FPI-dan-Insiden-Kendal