Senandung Jalang "Lonthe" Pasar Kembang

Tak seorangpun mau dan sudi menjadi seorang penjaja cinta. Dan tak ada yang mau ada lokalisasi di daerahnya. Namun semua itu tidak bisa ditolak dan dienyahkan dengan mudah. Apakah itu sudah menjadi takdir TUHAN bagi kita semua untuk bisa menyikapi kehidupan ini dengan lebih bijaksana. Atau itu adalah pelajaran bagi kita untuk lebih peka kepada sesama.

Tulisan dibawah ini menarik untuk dibaca, menggambarkan geliat bisnis "basah" di Jogjakarta dari sudut pandang "seseorang" yang sedang berwisata di sana. Entah siapa yang pertama kali menulisnya, namun ini sangat pas untuk menggambarkan situasi di sana.

tribunnews.com
Tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta langkahku terhenti. Sepertinya di bawah aspal jalan raya ini ada tangan-tangan yang berusaha menarik alas kakiku. Ah, ini kan Gang 3, sebuah tempat yang punya nama lain Pasar Kembang. 
Maksud hati ingin bertahan untuk tidak memasuki gang itu tapi di dekat telingaku ada bisik menyengat, “Cewek-ceweknya bohai, Bro. Paling juga tarifnya nggak seberapa tapi nikmatnya sampai ke surga. Tenang, nggak pakai tuslah. Sedotan sama jepitannya bikin nggak kuku, Bro. Cepat, mampir Bro.” 
Gimana nggak menggoda kalo urusannya “gosok gigi” sama “tusuk-menusuk”. Ya sudah, nurut kaki ini saja ke mana keduanya akan melangkah. Malam ini dinginnya sangat menusuk hingga sumsum tulang. Mungkin enak bagi yang punya “selimut hidup”, tinggal pakai. Lha buat yang masih sendiri harus nahan diri. Kalau nggak kuat, ujung-ujungnya ya “jajan”. Itu pun kalau punya fulus. Kalau bokek, terpaksa main “swalayan”. 
Kulawan dingin udara di sekitar Gang 3 yang di dalamnya berdesakan perempuan-perempuan malam yang setia menunggu tamu yang bersedia mem-”booking”-nya dengan berbagai tarif. Dengan pakaian yang menampakkan keseksian tubuhnya, perempuan-perempuan ini tatap matanya dalam harap, “Malam ini semoga ada lelaki yang mau tumpahkan cairan kepuasannya di kamar tempat kupacu desah nafkah.” 
Sementara tak jauh dari tempat mangkalnya pekerja seks komersial ini, anak-anak asyik dalam dunianya: bermain apa saja yang merupakan permainan khas anak-anak. Lalu ada pula pemandangan lain di mana penjual makanan ikut warnai suasana “wisata lendir” ini. Masyarakat di situ sepertinya tak terusik dengan kegiatan “esek-esek” ini. Memasuki gang tersebut lebih dalam, suara-suara bernada godaan mulai muncul dari bibir-bibir merah puluhan pelacur yang disapukan gincu padanya, “Mas, mampir dong. Kita punya tarif damai, lho. Boleh deh nanti nego. Bisa “short time” atau “booking” seharian. Dijamin ketagihan, Mas. Bonus dobel “fellatio” deh nanti buat Mas.” 
Uuh, bahasanya. Mungkin kalo aku minta “cunillingus” bakal dikasih kali, ya? Imanku mulai goyah. Bagaimana tidak, pemandangan berupa bukit kembar yang mau “tumpah”, belahan dada yang bikin air liur menetes, “keti” yang kelihatan mulus tanpa bulu karena tubuh atas cuma dililit tanktop, dan pantat yang kayaknya lebih empuk dari bantalku di rumah, dan wajah feminin dengan riasan yang sebetulnya kelewat menor dengan polesan bedak tebal serta bola mata yang sedari tadi melirik penuh hasrat memang benar-benar hendak merontokkan iman. Belum lagi colekan mesra di lenganku dan cubitan nakal di tanganku makin menambah cepat detak jantungku. Sikap agresif dalam menjaring pria hidung belang ini memang jadi panorama yang lumrah di tempat ini. Kenes, centil, kemayu, itulah mereka. Persaingan pun terjadi di antara mereka untuk menggaet lelaki haus gairah. 
“Tak ada ‘making love’ tak ada penghasilan”. Jadi di setiap malamnya, buat mereka, harus ada laki-laki yang berhasil ditaklukkan di “ranjang (kenikmatan) setan” demi rupiah yang nanti masuk ke kutang mereka. Ada banyak model cewek yang bisa dipilih sesuai selera oleh pelanggan. Mau yang “chubby”, setipis tiang listrik, seagresif Asia Carrera, sejangkung Patrick Tera, semuanya ada. Yang ngebedain paling ongkos plus layanannya di bilik-bilik yang menguar amis “pelumas” perek bercampur mani pelanggan. Tapi ah, tidak. 
Aku barangkali salah mengarahkan langkah kakiku ke sini. Dasar setan, keparat kau!!! Malah kau belokkan aku di tempat perempuan-perempuan jajakan keping berahi. Sialan!!! Aku pun balik arah. Ke Malioboro. “Lho Mas, kok balik lagi. Malu ya? Takut dosa? Anu, tak banting harga deh. Separuh dari harga biasa. Gimana?” Tawar seorang “lonthe” yang aku nggak tahu namanya. Mungkin Sumi, Yati, Inah, atau apalah, eh siapalah. 
Dasar, ada aja kiat mereka naklukin lelaki agar mau nyebur ke sumur dosa. “Aduh, maaf Mbak. Saya kayaknya salah jalan, nih. Tadinya saya pengin nerabas jalan mau ke Malioboro. Tapi kayaknya kalo lewat sini nggak nembus, deh. Lain kali saja. Pokoknya sama Mbaknya nanti,” hiburku pada seorang perempuan ber-tanktop putih dengan dada yang lumayan membusung yang begitu getol menggaetku dengan kerling mata aduhai. 
Oalah, dunia hitam alias dunia lendir memang seperti jebakan tikus. Binatang pengerat ini seandainya tak hati hati, ia bakalan terperangkap di dalamnya tanpa bisa keluar lagi. Begitu pun lelaki, mereka yang tak hati-hati bakal ketagihan “nyungsep” di bibir sumur berahi yang berdiri tegak di atas dunia prostitusi. Kulangkahkan kaki tinggalkan Gang 3 yang penuh dengan gempuran goda menggila wanita-wanita tunasusila. Menuju Malioboro yang seolah tak pernah tidur setiap harinya. Malam pun semakin menggigit hingga kudalam gigil yang menyempil di antara “jerit” wanita jalang di Pasar Kembang.
Sumber: facebook.com

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo