Syawalan: Tradisi Jawa Setelah Perayaan Idul Fitri

SYAWAL merupakan nama sebuah bulan dalam kalender Islam.Tradisi ini bagi masyarakat Jawa sudah menjadi ritual rutin yang digelar sepekan setelah Idul Fitri atau setelah menjalankan puasa syawal selama enam hari.

Masyarakat Jawa menyebutnya dengan Lebaran Kopat atau acara Syawalan. Ketupat dalam bahasa Jawa diartikan dengan laku lepat. Di dalamnya mengandung empat makna yaitu lebar, lebur, luber, dan labur. Lebar berarti luas, lebur artinya dosa atau kesalahan yang sudah diampuni, luber mengandung makna pemberian pahala berleih, serta labur artinya wajah yang ceria.


Bila dirangkai dalam satu untaian makna diartikan sebagai suatu keadaan paling bahagia setelah segala dosa diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih. Begitu kuatnya tradisi ini tertanam dalam masyarakat sehingga tidak aneh kalau tiap-tiap daerah selalu merayakan tradisi Syawalan dengan meriah.

Kendati begitu, tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya tradisi ini dimulai dan siapa yang pertama kali memulainya. Konon katanya Walisongo yang memperkenalkan budaya ini kepada masyarakat muslim waktu itu. Dialah Sunan Kalijaga yang kali pertama memperkenalkannya pada masyarakat Jawa.

Beliau pada waktu itu membudayakan dua kali Lebaran yaitu "Bakda Lebaran" dan "Bakda Kupat". "Bakda Kupat" merupakan prosesi seminggu sesudah Lebaran usai. Pada hari itu, hampir setiap rumah menganyam ketupat dari daun kelapa muda.Setelah masak, kupat tersebut bakal diantarkan ke kerabat yang lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan.

Terkait hidangan khas yaitu ketupat, merupakan makanan yang dibuat dari pembungkus janur berbentuk segi empat. Di dalamnya berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini hanyalah simbolisasi yang mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah mohon ampun dari segala kesalahan, dilihat dari warna putih ketupat jika dibelah dua.

Sedangkan, janur melambangkan manusia yang telah mendapatkan sinar ilahiah atau cahaya spiritual (cahaya jiwa). Anyaman-anyaman diharapkan memberikan penguatan satu sama lain. Dalam artian, antara jasmani dan rohani, lahir batinnya kuat dan kokoh. Ketupat juga berarti lepat (salah).

Sedangkan di Boja, syawalan diselenggarakan tepat 7 hari setelah hari raya Idul Fitri. Perayaan syawalan di sini hampir sama dengan perayaan di daerah lain. Meriah. Namun ada yang membedakan perayaan syawalan Desa Boja berbeda dengan daerah lainnya. Jika daerah lain identik dengan tradisi ziarah ke makam leluhur. Di Desa Boja tradisi syawalan digelar untuk mengenang perjuangan Nyi Pandansari yang tidak lain adalah adik kandung dari Ki Ageng Pandanaran.

Sejak beberapa puluh tahun yang silam, di Kecamatan Boja Kendal juga sudah ada tradisi syawalan. Syawalan di Boja ditandai dengan dikirabnya seorang wanita pilihan yang disimbulkan sebagai, Nyai Pandansari atau lebih dikenal dengan sebutan Nyai Dapu, tokoh wanita yang 'mbubak alas' Desa Boja, sekaligus penyiar agama Islam pertama di Boja.

Tradisi syawalan di Boja diawali dengan kirab seorang wanita cantik yang duduk di atas pelana kuda dan didandani seperti putri raja. Perempuan yang mengenakan pakaian adat warna putih dan kuning cerah, tak henti-hentinya menebar senyum kepada ribuan warga yang berkerumun menonton di tepi jalan. Di  belakang kuda yang ditungganginya, ada barisan pengawal berpakaian hitam-hitam.

Perempuan yang mengenakan hiasan mahkota kecil di kepalanya itu adalah penggambaran sosok Nyai Pandansari, yang dikenal, bukan saja cantik, ramah, akan tetapi juga sakti mandraguna. Ia sosok wanita yang pantang menyerah, serta ulet dan tabah, menghadapi berbagai cobaan.

Sumber:
http://ramadan.okezone.com/read/2009/09/28/134/260261/memaknai-tradisi-syawalan-lebar-lebur-luber-labur
http://krjogja.com/read/140498/page/tentang_kami

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo