Ada Berapa Dialek Dalam Bahasa Jawa?
Macam-Macam Dialek Bahasa Jawa
Penyebaran Dialek Bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa Rumpun Austronesia yang dituturkan oleh masyarakat Suku Jawa di Indonesia dan berbagai wilayah perantauan lainnya.
Menurut jumlah penutur dan wilayah sebarnya, Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa terbesar di dunia dengan jumlah penutur asli sekitar 80 juta orang, dan merupakan bahasa lokal terbesar dan terbanyak penggunanya di Indonesia.
Bahasa Jawa sangat beragam, dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik karena dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dialek geografi, dialek temporal, serta register dalam Bahasa Jawa sangat kaya sehingga seringkali menyulitkan orang yang mempelajarinya.
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa Rumpun Austronesia yang dituturkan oleh masyarakat Suku Jawa di Indonesia dan berbagai wilayah perantauan lainnya.
Menurut jumlah penutur dan wilayah sebarnya, Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa terbesar di dunia dengan jumlah penutur asli sekitar 80 juta orang, dan merupakan bahasa lokal terbesar dan terbanyak penggunanya di Indonesia.
Bahasa Jawa sangat beragam, dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik karena dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dialek geografi, dialek temporal, serta register dalam Bahasa Jawa sangat kaya sehingga seringkali menyulitkan orang yang mempelajarinya.
Berikut adalah paparan singkat mengenai berbagai dialek dalam Bahasa Jawa, mulai dari Banten di barat hingga Banyuwangi di timur.
1. Dialek Banten
Bahasa Banten (Dialek Banten) mulai dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad ke 16. Di zaman itu, Bahasa Jawa yang diucapkan di Banten tidak ada bedanya dengan Bahasa Jawa Dialek Cirebon, sedikit diwarnai Dialek Tegal-Banyumas. Asal muasal Kesultanan Banten memang berasal laskar gabungan Demak dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir utara Kerajaan Sunda Pajajaran. Namun, Bahasa Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi (Melayu).
Bahasa Banten atau Dialek Banten ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi.
Dialek Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama) dan standar. Dalam Dialek Banten, pengucapan huruf ‘e’, ada dua versi. Ada yang diucapkan ‘e’ saja, seperti pada kata “teman”. Dan juga ada yang diucapkan ‘a’, seperti pada kata “apa”.
Contoh Dialek Banten tingkat bebasan:
Dialek Cirebon-Indramayu atau disebut oleh masyarakat setempat sebagai Basa Cerbon ialah salah satu dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat, terutama mulai daerah Pedes hingga Cilamaya di Kabupaten Karawang; Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, Pusakaratu, dan Compreng di Kabupaten Subang; Kabupaten Indramayu, Kabupaten dan Kota Cirebon, serta Kabupaten Majalengka.
Dialek Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno Bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh Bahasa Jawa baku. Perdebatan tentang Dialek Cirebon sebagai sebuah bahasa yang mandiri terlepas dari Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup panjang, serta melibatkan faktor politik pemerintahan, budaya, serta ilmu kebahasaan.
Beberapa ahli percaya bahwa Sastra Cirebonan dalam bentuk tulisan telah ada sebelum permulaan zaman Hindu dan telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat Jawa. Sebagai hasilnya dapat ditemui dua macam hasil karya Sastra Cirebonan, yang disebut “tembang gedhe dan tembang tengahan”. Setelah Cirebon dijadikan pusat dari penyebar agama Islam oleh Walisongo, “tembang cilik” yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai “tembang macapat” mulai muncul.
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan Metode Guiter menunjukkan perbedaan kosa kata Bahasa Jawa Dialek Cirebon dengan Bahasa Jawa Dialek Surakarta-Yogyakarta (Jawa Baku) mencapai 75 %, sementara perbedaannya dengan Dialek Surabaya mencapai 76 %. Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Contoh kalimat dalam Dialek Cirebon-Indramayu:
Dialek Tegal-Banyumas atau sering disebut Basa Ngapak adalah kelompok bahasa Bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah (Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara). Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek Bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan Bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan Bahasa Jawa Kuno (Kawi). Sedangkan Dialek Tegal juga merupakan salah satu kekayaan Bahasa Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang sama dengan Dialek Banyumas, pengguna Dialek Tegal tidak serta-merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata.
Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan Bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era Bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan Bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya Bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur).
Dibandingkan dengan Bahasa Jawa Dialek Yogyakarta dan Surakarta, Dialek Tegal-Banyumas banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘ÏŒ’. Jadi jika di Surakarta orang makan ‘segÏŒ’ (nasi), di wilayah Banyumas orang makan ‘sega’. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan Basa Ngapak atau Ngapak-ngapak. Basa Ngapak ini juga dikenal memiliki beberapa subdialek.
Sebagian besar kosakata asli dari dialek ini tidak memiliki kesamaan dengan Bahasa Jawa standar (Surakarta-Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.
Dialek Pekalongan adalah salah satu dari dialek-dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Dialek Pekalongan termasuk dialek Bahasa Jawa yang “sederhana” namun “komunikatif”. Meskipun ada di Jawa Tengah, Dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri, Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang Yogyakarta atau Surakarta, dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti, sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga sulit dimengerti.
Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, Pekalongan termasuk daerah Kesultanan Mataram. Awalnya Dialek Pekalongan tak berbeda dengan bahasa yang dipergunakan di daerah Kesultanan Mataram. Namun seterusnya ada zaman di mana bahasa-bahasa Jawa terutama Dialek Pekalongan mulai terlihat berbeda karena asimilasi dengan budaya lain.
Meskipun Dialek Pekalongan banyak menggunakan kosakata yang sama dengan Dialek Tegal, misalnya : bae, nyong, manjing, kaya kuwe, namun pengucapannya tak begitu “kental” melainkan lebih “datar” dalam pengucapannya, contohnya menggunakan pengucapan : ri, ra, po’o, ha’ah pok, lha, ye. Demikian pula adanya istilah yang khas, seperti : Kokuwe artinya “sepertimu”, Tak nDangka’i artinya “aku kira”, Jebhul no’o artinya “ternyata”, Lha mbuh artinya “tidak tau”, Ora dermoho artinya “tak sengaja”, Wegah ah artinya “tak mau”, Nghang priye artinya “bagaimana”, Di Bya bae ra artinya “dihadapi saja”, dan masih banyak lainnya.
5. Dialek Kedu
Dialek Kedu adalah sebuah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di Daerah Kedu, Jawa Tengah bagian tengah (Wonosobo, Purworejo, Magelang dan khususnya Temanggung). Dialek Kedu adalah nenek moyang dari Bahasa Jawa yang biasa digunakan di Suriname.
Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek Mataram (Surakarta-Yogyakarta) dan dialek Banyumas. Kata-katanya masih menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:
Bahasa Jawa Dialek Surakarta-Yogyakarta (Mataraman) adalah dialek Bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan Yogyakarta, termasuk pula daerah-daerah di bagian tengah Pulau Jawa (memanjang dari Kabupaten Blitar di timur hingga Kabupaten Kendal di barat). Dialek ini merupakan Bahasa Jawa baku dan menjadi standar bagi pengajaran Bahasa Jawa baik di dalam negeri maupun secara internasional. Bahasa Jawa Surakarta-Yogyakarta sejatinya merupakan pengembangan Bahasa Jawa baru gaya Mataraman, dengan bercirikan dialek “ÏŒ” (Ã¥) dalam berbagai kosakatanya, membedakannya dengan Bahasa Jawa kuno yang berdialek “a” (mirip Dialek Tegal-Banyumasan). Dialek Surakarta-Yogyakarta ini juga dikenal memiliki beberapa subdialek.
Wilayah geografis Dialek Surakarta-Yogyakarta:
1. Wilayah Barat
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (“kasar”), madya (“biasa”), dan krama (“halus”). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur Bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.
1. Dialek Banten
Bahasa Banten (Dialek Banten) mulai dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad ke 16. Di zaman itu, Bahasa Jawa yang diucapkan di Banten tidak ada bedanya dengan Bahasa Jawa Dialek Cirebon, sedikit diwarnai Dialek Tegal-Banyumas. Asal muasal Kesultanan Banten memang berasal laskar gabungan Demak dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir utara Kerajaan Sunda Pajajaran. Namun, Bahasa Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi (Melayu).
Bahasa Banten atau Dialek Banten ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi.
Dialek Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama) dan standar. Dalam Dialek Banten, pengucapan huruf ‘e’, ada dua versi. Ada yang diucapkan ‘e’ saja, seperti pada kata “teman”. Dan juga ada yang diucapkan ‘a’, seperti pada kata “apa”.
Contoh Dialek Banten tingkat bebasan:
- Pripun kabare ? Kakang ayun ning pundi ?
- Sampun dahar dereng ?
- Permios, kule boten uning griyane kang Haban niku ning pundi ?
- Kasihe sinten ?
- Kepremen kabare? Sire arep ning endi?
- Wis mangan durung?
- Punten, kite ore weruh umahe kang Haban kuwen ning endi?
- Arane sape?
- Bagaimana kabarnya? Kamu mau kemana?
- Sudah makan belum?
- Maaf, saya tidak tahu rumahnya Kang Haban itu dimana?
- Namanya siapa?
Dialek Cirebon-Indramayu atau disebut oleh masyarakat setempat sebagai Basa Cerbon ialah salah satu dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat, terutama mulai daerah Pedes hingga Cilamaya di Kabupaten Karawang; Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, Pusakaratu, dan Compreng di Kabupaten Subang; Kabupaten Indramayu, Kabupaten dan Kota Cirebon, serta Kabupaten Majalengka.
Dialek Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno Bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh Bahasa Jawa baku. Perdebatan tentang Dialek Cirebon sebagai sebuah bahasa yang mandiri terlepas dari Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup panjang, serta melibatkan faktor politik pemerintahan, budaya, serta ilmu kebahasaan.
Beberapa ahli percaya bahwa Sastra Cirebonan dalam bentuk tulisan telah ada sebelum permulaan zaman Hindu dan telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat Jawa. Sebagai hasilnya dapat ditemui dua macam hasil karya Sastra Cirebonan, yang disebut “tembang gedhe dan tembang tengahan”. Setelah Cirebon dijadikan pusat dari penyebar agama Islam oleh Walisongo, “tembang cilik” yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai “tembang macapat” mulai muncul.
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan Metode Guiter menunjukkan perbedaan kosa kata Bahasa Jawa Dialek Cirebon dengan Bahasa Jawa Dialek Surakarta-Yogyakarta (Jawa Baku) mencapai 75 %, sementara perbedaannya dengan Dialek Surabaya mencapai 76 %. Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Contoh kalimat dalam Dialek Cirebon-Indramayu:
- Pripun kabar ae? Panjenengan bade teng pundi?
- Sampun dahar dereng?
- Permios, Kula mboten uning griya ae rara Astutiningsih kuh teng pundi?
- Jeneng ae sinten?
- Jeneng ae Astutiningsih lamun mboten sawon.
- Bagaimana kabar Anda? Kamu mau ke mana?
- Sudah makan belum?
- Maaf, saya tidak tahu rumah Mbak Astutiningsih itu di mana?
- Namanya siapa?
- Namanya Astutiningsih kalau tidak salah.
Dialek Tegal-Banyumas atau sering disebut Basa Ngapak adalah kelompok bahasa Bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah (Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara). Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek Bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan Bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan Bahasa Jawa Kuno (Kawi). Sedangkan Dialek Tegal juga merupakan salah satu kekayaan Bahasa Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang sama dengan Dialek Banyumas, pengguna Dialek Tegal tidak serta-merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata.
Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan Bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era Bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan Bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya Bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur).
Dibandingkan dengan Bahasa Jawa Dialek Yogyakarta dan Surakarta, Dialek Tegal-Banyumas banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a’ tetap diucapkan ‘a’ bukan ‘ÏŒ’. Jadi jika di Surakarta orang makan ‘segÏŒ’ (nasi), di wilayah Banyumas orang makan ‘sega’. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ‘k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan Basa Ngapak atau Ngapak-ngapak. Basa Ngapak ini juga dikenal memiliki beberapa subdialek.
Sebagian besar kosakata asli dari dialek ini tidak memiliki kesamaan dengan Bahasa Jawa standar (Surakarta-Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.
- “inyong”, saya
- “rika”, kamu (Banyumas)
- “kon”, kamu (Tegal)
- “kepriwe”, bagaimana (Banyumas)
- “kepriben”, bagaimana (Tegal)
Dialek Pekalongan adalah salah satu dari dialek-dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Dialek Pekalongan termasuk dialek Bahasa Jawa yang “sederhana” namun “komunikatif”. Meskipun ada di Jawa Tengah, Dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri, Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang Yogyakarta atau Surakarta, dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti, sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga sulit dimengerti.
Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, Pekalongan termasuk daerah Kesultanan Mataram. Awalnya Dialek Pekalongan tak berbeda dengan bahasa yang dipergunakan di daerah Kesultanan Mataram. Namun seterusnya ada zaman di mana bahasa-bahasa Jawa terutama Dialek Pekalongan mulai terlihat berbeda karena asimilasi dengan budaya lain.
Meskipun Dialek Pekalongan banyak menggunakan kosakata yang sama dengan Dialek Tegal, misalnya : bae, nyong, manjing, kaya kuwe, namun pengucapannya tak begitu “kental” melainkan lebih “datar” dalam pengucapannya, contohnya menggunakan pengucapan : ri, ra, po’o, ha’ah pok, lha, ye. Demikian pula adanya istilah yang khas, seperti : Kokuwe artinya “sepertimu”, Tak nDangka’i artinya “aku kira”, Jebhul no’o artinya “ternyata”, Lha mbuh artinya “tidak tau”, Ora dermoho artinya “tak sengaja”, Wegah ah artinya “tak mau”, Nghang priye artinya “bagaimana”, Di Bya bae ra artinya “dihadapi saja”, dan masih banyak lainnya.
5. Dialek Kedu
Dialek Kedu adalah sebuah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di Daerah Kedu, Jawa Tengah bagian tengah (Wonosobo, Purworejo, Magelang dan khususnya Temanggung). Dialek Kedu adalah nenek moyang dari Bahasa Jawa yang biasa digunakan di Suriname.
Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek Mataram (Surakarta-Yogyakarta) dan dialek Banyumas. Kata-katanya masih menggunakan dialek ngapak dalam tuturannya agak bandek:
- “gandhul”, pepaya
- “mbaca”, membaca (Bahasa Jawa standar: maca)
- “mberuh”, tidak tahu (embuh ora weruh)
- “mbek”, dengan contoh “mbek sopo?” artinya “dengan siapa?” (kambek, karo)
- “krongsi”, kursi (Temanggung)
Bahasa Jawa Dialek Surakarta-Yogyakarta (Mataraman) adalah dialek Bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan Yogyakarta, termasuk pula daerah-daerah di bagian tengah Pulau Jawa (memanjang dari Kabupaten Blitar di timur hingga Kabupaten Kendal di barat). Dialek ini merupakan Bahasa Jawa baku dan menjadi standar bagi pengajaran Bahasa Jawa baik di dalam negeri maupun secara internasional. Bahasa Jawa Surakarta-Yogyakarta sejatinya merupakan pengembangan Bahasa Jawa baru gaya Mataraman, dengan bercirikan dialek “ÏŒ” (Ã¥) dalam berbagai kosakatanya, membedakannya dengan Bahasa Jawa kuno yang berdialek “a” (mirip Dialek Tegal-Banyumasan). Dialek Surakarta-Yogyakarta ini juga dikenal memiliki beberapa subdialek.
Wilayah geografis Dialek Surakarta-Yogyakarta:
1. Wilayah Barat
- Eks Karesidenan Semarang (Semarang, Salatiga, Demak, dan Grobogan)
- Sebagian Kabupaten Magelang
- Eks Karesidenan Surakarta dan Karesidenan Yogyakarta
- Eks Karesidenan Madiun dan Karesidenan Kediri
- Bagian barat Kabupaten Jombang dan selatan Kabupaten Malang
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (“kasar”), madya (“biasa”), dan krama (“halus”). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
- Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?”
- Ngoko kasar: “Eh, aku arȇp takÏŒn, omahé Budi kuwi, nÃng ȇndi ?’
- Ngoko alus: “Aku nyuwún pÃrsa, dalemé Mas Budi kuwi, nÃng ȇndi ?”
- Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kȇrsÃ¥ ndangu, omahé , Mas Budi kuwi, nÃng ȇndi ?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur Bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
- Madya: “Nuwun séwu, kulÃ¥ ajȇng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi ?” (ini krama desa (substandar))
- Madya alus: “Nuwun séwu, kula ajeng tanglȇt, dalȇmé Mas Budi niku, ‘tȇng pundi ?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
- Krama andhap: “Nuwun séwu, dalȇm badhe nyuwún pÃrsÃ¥, dalȇmipún Mas Budi punikÃ¥, wontȇn pundi ?” (Dalȇm itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalȇm ‘kepunyaanmu’. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
- Krama lugu: “Nuwun séwu, kulÃ¥ badhé takén, griyanipún Mas Budi punikÃ¥, wontȇn pundi ?”
- Krama alus: “Nuwun séwu, kulÃ¥ badhe nyuwún pÃrsa, dalȇmipún Mas Budi punikÃ¥, wontȇn pundi ?”
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur Bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.
7. Dialek Pantura Timur
Dialek Pantai Utara (Pantura) Timur adalah sebuah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di wilayah Jepara, Kudus, Pati, Blora, Rembang (Jawa Tengah), Tuban, dan Bojonegoro (Jawa Timur). Dialek ini juga menjadi bahasa sehari-hari Suku Samin (salah satu sub-Suku Jawa) di pedalaman Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro.
Ciri khas dialek ini adalah digunakannya akhiran -em atau -nem (ȇ) menggantikan akhiran -mu dalam Bahasa Jawa untuk menyatakan kata ganti posesif orang kedua tunggal. Akhiran -em dipakai jika kata berakhiran huruf konsonan, sementara -nem dipakai jika kata berakhiran vokal. Misalnya kata kathok yang berarti celana menjadi kathokem, klambi yang berarti baju menjadi klambinem, dan sebagainya.
Beberapa kosakata khas Dialek Pantura Timur yang tidak dipakai dalam Bahasa Jawa yang lain antara lain:
Dialek Pantai Utara (Pantura) Timur adalah sebuah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di wilayah Jepara, Kudus, Pati, Blora, Rembang (Jawa Tengah), Tuban, dan Bojonegoro (Jawa Timur). Dialek ini juga menjadi bahasa sehari-hari Suku Samin (salah satu sub-Suku Jawa) di pedalaman Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojonegoro.
Ciri khas dialek ini adalah digunakannya akhiran -em atau -nem (ȇ) menggantikan akhiran -mu dalam Bahasa Jawa untuk menyatakan kata ganti posesif orang kedua tunggal. Akhiran -em dipakai jika kata berakhiran huruf konsonan, sementara -nem dipakai jika kata berakhiran vokal. Misalnya kata kathok yang berarti celana menjadi kathokem, klambi yang berarti baju menjadi klambinem, dan sebagainya.
Beberapa kosakata khas Dialek Pantura Timur yang tidak dipakai dalam Bahasa Jawa yang lain antara lain:
- “lamuk/jengklong” berarti “nyamuk” (Bahasa Jawa standar: nyamuk atau lemut)
- “mbledeh/mblojet” berarti “telanjang dada” (Bahasa Jawa standar: ngliga)
- “wong bento” berarti orang gila” (Bahasa Jawa standar: wong edan)
- “pet” berarti “pipa atau air ledeng” (Bahasa Jawa standar: ledeng)
- “neker” berarti “kelereng” (Bahasa Jawa standar: setin)
- “jengen” berarti “nama” (Bahasa Jawa standar: jeneng)
- “ceblok” berarti “jatuh” (Bahasa Jawa standar: tiba)
- “digudak” berarti “dikejar” (Bahasa Jawa standar: dioyak)
8. Dialek Surabaya
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai Boso Suroboyoan atau Jawa Timuran adalah sebuah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, Dialek Surabaya dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan Bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Secara persebaran geografis Dialek Surabaya dipertuturkan di:
1. Wilayah Barat
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan:
9. Dialek Tengger
Bahasa Tengger atau Dialek Tengger merupakan sub-Bahasa Jawa yang dituturkan oleh Orang Tengger di daerah Gunung Bromo dan Gunung Semeru (Dataran Tinggi Tengger) yang termasuk wilayah sebagian Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang.
Di Pasuruan, Dialek Tengger ditemukan di Kecamatan Tosari, lalu di Probolinggo, daerah Kecamatan Sukapura, sedangkan Malang, Dialek Tengger dituturkan di wilayah Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Yang terakhir, di Lumajang dituturkan di wilayah Ranu Pane, Kecamatan Senduro.
Ada yang menganggap Dialek Tengger merupakan turunan Bahasa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern.
Contoh:
10. Dialek Osing
Dialek Osing atau sering disebut Basa Osing, adalah dialek Bahasa Jawa yang dipertuturkan oleh Orang Osing (salah satu Subsuku Jawa) di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Kata osing/using berasal dari Bahasa Sansekerta, tusing, sama seperti dalam Bahasa Bali yang berarti “tidak”. Dialek Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuno yang masih tertinggal. Di samping itu, pengaruh Bahasa Bali juga sedikit signifikan terlihat dalam dialek ini. Seperti kosakata sing (tidak) dan bojog (monyet).
Jumlah penduduk asli Banyuwangi yang acap disebut sebagai “Lare Using” ini diperkirakan mencapai 500.000 jiwa dan secara otomatis menjadi pendukung tutur Dialek Osing ini. Penutur Dialek Osing ini tersebar terutama di wilayah tengah Kabupaten Banyuwangi, mencakup Kecamatan Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, Giri, Kota Banyuwangi, Gambiran, Singojuruh, sebagian Genteng, dan Licin. Wilayah sisanya dihuni warga berbahasa Jawa Dialek Surabaya ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat dijumpai di wilayah Kabupaten Jember, khususnya di Dusun Krajan Timur, Desa Glundengan, Kecamatan Wuluhan.
Di kalangan masyarakat Osing, dikenal dua gaya bahasa yang satu sama lain ternyata tidak saling berhubungan. Yakni Cara Osing dan Cara Besiki. Cara Osing adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak mengenal bentuk Ngoko-Krama seperti layaknya Bahasa Jawa umumnya. Yang menjadi pembedanya adalah pronomina yang disesuaikan dengan kedudukan lawan bicara, misalnya:
Sumber: GPS Wisata Indonesia
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai Boso Suroboyoan atau Jawa Timuran adalah sebuah dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, Dialek Surabaya dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan Bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Secara persebaran geografis Dialek Surabaya dipertuturkan di:
1. Wilayah Barat
- Kabupaten dan Kota Mojokerto sampai Kabupaten Jombang
- Wilayah Perak Utara (Kecamatan Perak, Jombang) masih menggunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan telah menggunakan Dialek Surakarta-Yogyakarta (karena berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kediri)
- Kabupaten Gresik dan Kabupaten Lamongan
- Sebagian Madura (beberapa orang Madura dapat menggunakan Dialek ini secara aktif)
- Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Pasuruan
- Malang Raya (wilayah Kabupaten dan Kota Malang, serta Kota Batu)
- Kawasan Tapal Kuda – Belum diketahui secara pasti, namun di sepanjang pesisir tengah Jawa Timur (Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, sampai Banyuwangi bagian barat) Dialek Surabaya juga banyak digunakan.
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan:
- “pongor, gibeng, santap, waso(h) (istilah untuk pukul atau hantam);
- “kathuken” berarti “kedinginan” (Bahasa Jawa standar: kademen);
- “gurung” berarti “belum” (Bahasa Jawa standar: durung);
- “gudhuk” berarti “bukan” (Bahasa Jawa standar: dudu);
- “opo’o” berarti “mengapa” (Bahasa Jawa standar: geneya);
9. Dialek Tengger
Bahasa Tengger atau Dialek Tengger merupakan sub-Bahasa Jawa yang dituturkan oleh Orang Tengger di daerah Gunung Bromo dan Gunung Semeru (Dataran Tinggi Tengger) yang termasuk wilayah sebagian Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang.
Di Pasuruan, Dialek Tengger ditemukan di Kecamatan Tosari, lalu di Probolinggo, daerah Kecamatan Sukapura, sedangkan Malang, Dialek Tengger dituturkan di wilayah Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Yang terakhir, di Lumajang dituturkan di wilayah Ranu Pane, Kecamatan Senduro.
Ada yang menganggap Dialek Tengger merupakan turunan Bahasa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern.
Contoh:
- Reang: aku, jika yang berbicara lelaki
- Isun: aku, jika yang berbicara perempuan
10. Dialek Osing
Dialek Osing atau sering disebut Basa Osing, adalah dialek Bahasa Jawa yang dipertuturkan oleh Orang Osing (salah satu Subsuku Jawa) di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Kata osing/using berasal dari Bahasa Sansekerta, tusing, sama seperti dalam Bahasa Bali yang berarti “tidak”. Dialek Osing mempunyai banyak kesamaan dan memiliki kosakata Bahasa Jawa Kuno yang masih tertinggal. Di samping itu, pengaruh Bahasa Bali juga sedikit signifikan terlihat dalam dialek ini. Seperti kosakata sing (tidak) dan bojog (monyet).
Jumlah penduduk asli Banyuwangi yang acap disebut sebagai “Lare Using” ini diperkirakan mencapai 500.000 jiwa dan secara otomatis menjadi pendukung tutur Dialek Osing ini. Penutur Dialek Osing ini tersebar terutama di wilayah tengah Kabupaten Banyuwangi, mencakup Kecamatan Kabat, Rogojampi, Glagah, Kalipuro, Srono, Songgon, Cluring, Giri, Kota Banyuwangi, Gambiran, Singojuruh, sebagian Genteng, dan Licin. Wilayah sisanya dihuni warga berbahasa Jawa Dialek Surabaya ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat dijumpai di wilayah Kabupaten Jember, khususnya di Dusun Krajan Timur, Desa Glundengan, Kecamatan Wuluhan.
Di kalangan masyarakat Osing, dikenal dua gaya bahasa yang satu sama lain ternyata tidak saling berhubungan. Yakni Cara Osing dan Cara Besiki. Cara Osing adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak mengenal bentuk Ngoko-Krama seperti layaknya Bahasa Jawa umumnya. Yang menjadi pembedanya adalah pronomina yang disesuaikan dengan kedudukan lawan bicara, misalnya:
- Siro wis madhyang? = kamu sudah makan?
- Riko wis madhyang? = anda sudah makan?
- Hiro/Iro = digunakan/lawan bicara untuk yang lebih muda(umur)
- Siro = digunakan/lawan bicara untuk yang selevel(umur)
- Riko = digunakan/lawan bicara untuk yang di atas kita (umur)
- Ndiko = digunakan/lawan bicara untuk orang tua (bapak/ibu)
Sumber: GPS Wisata Indonesia