Berita Yang Tidak Jelas

Banyak kita membaca cerita, kisah, atau artikel yang mengkisahkan revolusi dan pergolakan politik di Indonesia pada 1965 dan sesudahnya, yang sering disebut sebagai tahun-tahun pembantaian, tahun terjadinya genosida yang dilakukan oleh pemerintah (tentara) terhadap lawan-lawan politiknya.


PEMBANTAIAN YANG TIDAK TERCATAT



Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang orang Komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauhSarwo Edhie, Komandan RPKAD.


Ucapan mertua Presiden SBY, itu dalam sebuah konperensi pers awal tahun 1966 antara telah dilaporkan dalam beberapa bentuk. Ini menjelaskan, salah satu sejarah paling kelam dalam bangsa ini, yang tak pernah ditulis dalam buku buku sejarah anak anak kita di sekolah.

Pembantaian mereka yang dianggap komunis paska pemberontakan G 30 S PKI yang gagal. Kita mestinya sepakat bahwa pengungkapan itu bukan untuk menorah luka lama. Tetapi untuk sebagai bahan pelajaran sehingga tak terulang.

Laporan The Econimist London, berdasarkan informasi ilmuwan ilmuwan Indonesia, mengemukakan bahwa 100.000 orang tewas hanya dalam hitungan bulan Desember 1965 hingg Februari 1966. Menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk setelah peristiwa berdarah itu, jumlah korban hanya 78.000 orang. 

Tapi, Oei Tjoe Tat–menteri negara jaman Bung Karno–yang menjadi ketua tim, justru meragukan penemuan itu. Dalam perjalanannya melakukan penyelidikan ia justru dihambat oleh aparat militer setempat. Ia menyebutkan angka itu terlalu dikecilkan. Dengan menyindir ia menyebut bukan 78.000 tapi 780.000.


Dalam memoarnya, Oei Tjoa Tat menceritakan perjalanannya ke Bali, justru tidak bisa mendapatkan akses kemana mana, karena dikarantina di hotel, akhirnya dia bisa diselundupkan suatu malam, dengan melewati dapur untk bertemu sumber sumber penyelidikan.

Dari situ ia bisa mengetahui pembunuhan yang terjadi terhadap I Gede Puger, Ketua PKI Bali yang bertubuh gemuk. Tubuhnya dipotong potong, sehingga daging lemaknya terburai sebelum akhirnya kepala di tembak. Tidak hanya dia yang dibunuh, juga seluruh anak istrinya. Bahkan Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Suteja yang berafiliasi pada PKI, hilang tanpa bekas.

Suatu saat setelah laporan Komisi Pencari Fakta selesai. Oei Tjoe Tat dipanggil Bung Karno secara sembunyi bunyi.

“Sst..sini sebentar,. berapa angka yang sesungguhnya..” tanya Bung Karno.
“Lho khan ada releasenya Pak, sekitar 78.000 “.
“Sudahlah saya tidak percaya “ sergah Bung Karno
Oei Tjoe Tat lalu melihat sekelilingnya karena takut ada yang mendengar.
Lalu ia membisiki Bung Karno, “Ya..dikalikan 5 kali lipat saja pak dari angka itu “.
Kelak Oei Tjoe Tat ditahan rezim orde baru karena dianggap sebagai orang Soekarno. Anehnya Komkaptib, lembaga bentukan Orde baru yang sangat berkuasa dan dapat menentukan hidup matinya seseorang. Dalam laporannya, menyebutkan angka hampir sebesar 1 juta orang, dengan perincian 800,000 korban di Jawa dan 100.000 korban di Bali dan Sumatera.


Besarnya angka itu juga menunjukan adanya praktek genosida ( genocide ) yakni menghilangkan kelompok tertentu. Jika Pol Pot melakukannya pembantaian untuk menghilangkan kelas borjuis dan intelektual dalam beberapa tahun. Di Indonesia mereka melakukan pembantaian dalam hitungan bulan.

Ada beberapa cara penghitungan selain sumber sumber resmi di atas, seperti menghitung jenasah yang menjadi korban pembantaian–termasuk membongkar kuburan kuburan–walau agak sulit, karena banyak kejadian dengan membuang korban di jurang, hutan, tempat tempat terpencil atau membuat kuburan gelap.

Ada cara lain, meminta kesaksian dari korban yang kebetulan selamat, orang yang menyaksikan atau pelakunya sendiri.
Maskun Iskandar & Jopie Lasut, pernah mempublikasikan “Laporan dari daerah maut Purwodadi“ dalam Koran 'Indonesia Raya' tanggal 17 Maret 1969. Mereka menemukan tentara pangkat rendah dan dijuluki James bond agen 007 oleh rekan rekan instansi militernya. Dijuluki demikian karena memiliki lisensi membunuh seperti agen rahasia Inggris itu, dan dalam suatu kendurian warga, ia berkoar koar telah membunuh ratusan orang komunis.

Cara lain adalah dengan teknik demografi, membandingkan jumlah penduduk suatu daerah sebelum dan sesudah kejadian. Walau cara ini kurang efektif. Ada cara lain yakni dengan metode intuisi, yakni secara moderat tidak terlalu kecil dan tidak dibesar besarkan. Robert Gribb yang menulis ‘ The Indonesian Killings ‘ menyebut 500 ribu sebagai angka yang wajar.
Jumlah tersebut didukung teknik yang dibuat Iwan Gardono, dalam disertasinya ‘ The Destruction of the Indonesian Comunist Party (a comparative analysis of Esat Java and Bali) di Harvard University tahun 1992. Ia menjumlahkan semua angka pada 39 artikel/buku yang mengulas pembantaian 1965/1966 dan membagi dengan 39 sehingga diperoleh angka rata rata 430.590 orang.

Statistik itu tidak menunjukan perasaan sesungguhnya, tidak menggambarkan ketika orang dibunuh dengan dingin, diperkosa serta kengerian yang luar biasa terjadi. Selain itu sebuah tanda tanya kenapa aparat militer tidak mencegah kejadian itu, justru membiarkan pembantaian itu terjadi. Ucapan komandan RPKAD diatas menjelaskan bagaimana keterlibatan militer secara tidak langsung dalam pembantaian ini.

Terutama di Jawa, angkatan darat dengan kesatuan RPKAD menyebarkan daftar nama nama anggota PKI yang harus dibunuh, serta melatih organisasi pemuda sipil untuk bisa menguasai teknik dasar pertempuran–baca pembantaian. Dalam pidatonya di Bogor tanggal 18 Desember 1965, di hadapan mahasiswa HMI. Bung Karno meminta agar HMI ‘turba’–turun ke bawah untuk mencegah pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembantaian sangat keji. Orang disembelih, dipotong dan dibunuh begitu saja. Bahkan orang tidak berani menguburkan jenasah korban.

Lebih jauh Bung Karno menggambarkan, “ Awas kalau berani ngrumat jenasah. Engkau akan dibunuh. Jenasah diklelerkan begitu saja, dibawah pohon, dipinggir sungai. Dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati “. Bahkan dalam iring iringan mobil Bung Karno di Jawa Timur. Salah satu mobil diberhentikan, dan penumpangnya diberi bungkusan berisi kepala pemuda rakyat. Pembunuhan orang orang Komunis ini terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Sebagian Sulawesi, Pulau Jawa, Bali, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Di Jawa kerusuhan anti komunis menyebar di seluruh penjuru pulau, dengan konsentrasi di pedesaan. Di Surabaya, muslim Madura adalah kelompok terbesar yang melakukan pembantaian, sementara di daerah lain unit unit militer, kelompok warga sipil yang sebagian besar anggotanya adalah para pemuda yang bergabung dengan partai politik antikomunis.
Disini Ansor yang berafiliasi dengan NU memainkan peranan penting dalam pembantaian ini. Gus Dur dalam masa jabatan kepresidennnya pernah menyuarakan rekonsiliasi serta permintaan maaf atas pembunuhan yang dilakukan orang orang Ansor dan banser NU.

Di Jawa tengah dan Jawa Timur sebagai ladang pembantaian utama mulai dari wilayah Banyumas, Solo, Klaten, Boyolali, Purwodadi sampai Pati. Sementara di timur, mulai dari Kediri, Ponorogo dan yang paling parah daerah Probolinggo, Pasuruan, Situbondo sampai Banyuwangi. Bahkan Ansor sampai harus menyebrangi selat Bali, membantu membantai orang orang komunis di daerah bali barat.

Awalnya memang orang orang Komunis sempat diatas angin, dengan menangkapi tokoh tokoh agama atau tokoh masyarakat yang berafiliasi dengan PNI. Beberapa pertempuran terjadi antara komunis dengan Ansor, kaum nasionalis dan pemuda Kristen.

Namun sejak RPKAD mengirim satu batalyon menuju Jawa Tengah pada tanggal 17 Oktober 1965. Keadaaan berubah drastis. Pihak komunis menjadi terdesak, dan dibantai sampai keluarganya atau kerabatnya. Banyak pembunuhan terjadi karena amuk massa atau fitnah dari orang orang yang tidak suka kepada mereka yang dicurigai simpatisan. Padahal bukan komunis.

Di daerah Klaten, pemuda nasionalis membentuk satuan khusus yang dinamakan ‘ Pasukan Banteng Serba Guna “ bekerja sama dengan pemuda pemuda Islam dan pemuda Kristen yang membentuk “ Barisan Pengawal Yesus “. Mereka mendapat latihan militer dari satuan RPKAD yang berbasis di Kandang Menjangan dan Kartasura.

Beberapa laporan tentang pembunuhan di daerah Jawa Timur:

  1. Lawang, Kabupaten Malang. Para anggota dan simpatisan PKI yang akan dibunuh dikat tangannya. Lalu segerombolan pemuda Ansor bersama satu unit tentara Zeni Tempur membawa ke tempat pembantaian. Para korban satu persatu digiring ke lubang. Mereka dipukuli dengan benda keras sampai tewas. Lalu kepala mereka di penggal. Ribuan orang dibunuh dengan cara ini. Lalu pohon pohon pisang ditanam diatas kuburan mereka. 
  2. Singosari, Malang. Oerip Kalsum, seorang lurah wanita desa Dengkol, Singosari dibunuh dengan cara tubuh dan kemaluannya dibakar, lalu lehernya diikat sampai tewas. 
  3. Tumpang, Kabupaten Malang. Sekitar ribuan orang dibunuh oleh tentara dari Artileri Medan ( Armed I ) bekerja sama dengan Ansor. Mayat korban dikuburkan didesa Kunci. 
  4. Kabupaten Jember. Pembantaian dilakukan oleh Armed III. Tempat pembantaian perkebunan karet Wonowiri dan Glantangan serta kebun kelapa Ngalangan. Sementara di Desa Pontang pembantaian dilakukan oleh kepala Desa dan pensiunan tentara. 
  5. Nglegok. Kabupaten Blitar. Japik seorang tokoh Gerwani cabang setempat dan seorang guru, dibunuh bersama suaminya. Ia diperkosa berkali kali sebelum tubuhnya dibelah mulai dari payudara dan kemaluannya. Nursamsu seorang guru juga dibunuh, dan potongan tubuhnya digantung di rumah kawan kawannya. Sucipto seorang bekas lurah Nglegok dikebiri lalu dibunuh. Semuanya dilakukan oleh pemuda Ansor. 
  6. Garum, Kabupaten Blitar. Ny Djajus seorang lurah desa Tawangsari dan seorang anggota Gerwani. Hamil pada saat dibunuh. Tubuhnya dibelah sebelum dibunuh. 
  7. Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Beberapa guru, kepala desa ditangkap oleh pemuda Ansor, lalu disembelih dan mayatnya dibuang ke sungai. Beberapa kepala guru dipenggal dan ditaruh diatas bamboo untuk diarak keliling desa. 
  8. Kecamatan Pare, Kediri. Suranto, seorang kepala sekolah menengah di Pare. Ia bukan anggota PKI, tetapi anggota Partindo. Ia bersama istrinya yang sedang hamil 9 bulan di tangkap pemuda Ansor. Mereka dibunuh, perut istrinya dibelah dan janinnya dicincang. Selama seminggu setelah kejadian itu, kelima anak anak Suranto yang masih kecil kecil tidak punya siapa siapa yang akan menolong mereka, karena para pemuda Ansor memperingatkan tetangga, bahwa barang siapa menolong anak anak iti tidak dijamin keselamatannya. 
  9. Kecamatan Keras, Kabuaten Kediri. Tahanan dibawa naik rakit oleh pemuda Ansor, dan disepanjang perjalanan mereka dipukui sampai mati, lalu mayatnya dibuang di bantaran sungai. 
  10. Kabupaten Banyuwangi. Pembantaian dilakukan mulai tanggal 20 November 1965 sampai 25 Desember 1965. Kemudian terjadi lagi 1 Oktober sampai 5 Oktober 1966 serta pembantaian terakhir sejak Mei 1967 sampai Oktober 1968. Pembantaian dilakukan oleh regu regu tembaj dari Kodim 08325, pemuda Ansor dan Pemuda Demokrat. Mayat mayat dikubur dilubang lubang yang sudah disiapkan. Umumnya satu lubang memuat 20 25 orang. 
  11. Dengan menggunakan truk pinjaman dari pabrik kertas di Banyuwangi ratusan korban disiram minyak tanah dan dibakar lalu dilempar ke jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi dan Situbondo. Dalam banyak kasus, perempuan perrempuan dibunuh dengan cara ditusuk dengan pedang panjang melalui vagina sehingga perut mereka terbelah. Kepala dan payudara mereka dipotong potong lalu dipamerkan di pos pos jaga yang ada di sepanjang perjalanan. 
Selain Curahtangis diatas, ada tempat seperti Merawan, Curahjati–sebuah hutan jati, Desa bulusan dan Ketapang di daerah pantai yang menjadi tempat pembantaian massal. Bahkan di daerah Tampuh, sebuah desa perkebunan terpencil, sejumlah anggota PKI ditembak yang dipimpin oleh komandan kodim setempat.Sulit mengatakan jika militer dan petinggi organisasi massa tidak terlibat, jika contoh kasus pembantaian di Banyuwangi justru dipimpin oleh Kolonel Sumadi (Komandan Korem 083), Letkol Djoko Supaat Slamet (Komandan Kodim 18325), Dja’far Maruf (Ketua PNI cab. Banyuwangi) Kiai Haji Abdul Latief (Ketua NU cab. Banyuwangi)

Ketika Tim pencari fakta yang dipimpin Oei Tjoe Tat turun disini pada tanggal 25 Desember 1965. Jumlah korban sedah mencapai 25.000 orang. Banyak orang yang tidak tahu apa apa harus ikut membayar nyawanya karena amuk massa. Kerabat, tetangga, bayi bayi yang tak berdosa.

Bagaimana kita menjelaskan fenomena ribuan orang orang Bali yang pasrah, lalu berpakaian putih putih berjalan menuju tempat penjagalan, serta berdiam diri menunggu datangnya algojo.

Bagaimana kita menjelaskan puluhan ribu guru yang hilang dari sekolah sekolah dalam periode tersebut. Mereka tak tahu apa apa tentang politik, sehingga bergabung dengan gerakan sempalan PGRI non vaksentral, yang memberi semboyan jika Guru lapar mereka tak bisa mengajar.

Sejumlah data menyebut angka 30.000 ribu sampai 92,000 ribu guru dibunuh. Dari 120 orang yang dibunuh di Desa Margosari Klaten, terdapat sejumlah 80 orang guru sekolah. Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadao wayang, atau reog sehingga diasosiasikan terhadap Lekra.



Dengan belajar memahami sejarah, kita mengenal bangsa sendiri. Sejarah adalah cermin. Sehingga kita bisa bercermin tentang siapa diri kita sebenarnya. Tentu saja berharap kita bukan bangsa pendendam.

Sumber:

*Robert Cribb, The Indonesian Killings
*Memoar Oei Tjoa Tat
*Hermawan Sulistyo, Forgotten Years, Indonesia’s missing history of mass slaughter (Jombang–Kediri 1965 -1966)

Namun yang menjadi tanda tanya, sering kita memberitakan hal-hal yang demikian ini, tanpa memberitakan sebab terjadinya peristiwa. 

Sumber: http://blog.imanbrotoseno.com/?p=1498

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo