Mayeng-mayeng: Gedong Songo (Perjalanan Religi Menuju Tingkatan Tertinggi)

Candi Gedong Songo
Gedong Songo (Sembilan Bangunan) adalah nama candi yang berada di bukit pegunungan Ungaran. Candi Gedong Songo terletak pada ketinggian sekitar 1.200 DPL dengan suhu sekitar 19 – 27 °C. Lokasi Candi Gedong Songo sangat mudah di jangkau dari berbagai kota yang ada di sekitarnya. Lokasinya merupakan jalur deretan alternatif  Ungaran – Temanggung. Apabila Petualang memulai dari Kota Semarang cukup ke selatan menuju Kota Ungaran – Bandungan – Gedong Songo. Bisa di tempuh dengan waktu 1 jam perjalanan. Apabila dari Yogyakarta bisa melalui Kota Ambarawa (Tugu Palagan Ambarawa) – Bandungan – Gedong Songo, waktu perjalanan sekitar 2 jam.

Candi Gedong Songo terletak di lereng Gunung Ungaran, pada koordinat 110°20’27” BT dan 07°14’3” LS di desa Darum, Kelurahan Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Gedong Songo berasal dari bahasa Jawa, Gedong (rumah/bangunan) dan Songo (sembilan) yang berarti Sembilan (Kelompok) Bangunan. Apakah sejak awal candi ini ada sembilan kelompok? Atau memiliki arti lain? Hmm, belum dapat dijawab. Namun saat ini hanya ada 5 komplek candi.


Arca-Arca di komplek Candi Gedong Songo yang dibuat pada abad ke 8 Masehi tidak lagi lengkap. Arca-arca yang di jumpai hanya beberapa yang tersisa, seperti Durga (Istri Siwa), Ghanesa (Anak Siwa), Agastya (Seorang Resi) Serta dua pengawal dewa Siwa yaitu Nandiswara dan Mahakala yang bertugas menjaga pintu candi.


Candi Gedong Songo
Komplek Candi Gedong Songo sendiri di temukan oleh Loten, pada tahun 1740. Pada masa setelahnya, Rafles mulai mencatatnya dengan memberi nama gedong pitoe (tujuh) karena hanya menemukan 7 kelompok bangunan sekitar tahun 1804.  Namun baru pada tahun 1925, Van Braam membuat publikasi adanya candi di sekitar perbukitan Ungaran. Lalu Friederich dan Hopermans menulis tentang Gedong Songo, dan Van Stein Calefells melakukan penelitian di sekitar Komplek Candi Gedong Songo pada tahun 1908.  Sekitar tahun 1911-1912 Knebel melakukan inventarisasi semua komplek candi Gedong Songo.

Pada tahun 1916, Pemerintah Belanda secara resmi mulai melakukan penelitian di komplek candi yang diserahkan tugas pada saat itu adalah oleh Dinas Purbakala Belanda. Pada tahun 1928-1929, dilakukan pemugaran candi Gedong 1. Pada tahun 1930-1932 dilakukan pemugaran pada candi Gedong 2. Pemerintah Indonesia memulai pemugaran pada tahun 1977-1983, yang dipugar pada pada komplek candi gedong 3 , 4 dan 5.  Pada saat itu yang melakukan tugas pemugaran adalah SPSP, pada saat ini namanya berubah menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia mulai melakukan pemetaan ulang semua komplek candi Gedong Songo.


Candi Gedong Songo
Keberadaan Candi Gedong Songo digunakan oleh masyarakat masa lampau untuk melakukan pemujaan. Bahkan hingga sekarang, masyarakat Hindu masih melakukan upacara pemujaan di kompleks candi ini. Pelaksanaannya berupa perjalanan dari Candi pertama menuju Candi ke-9 dengan melakukan semacam ritual di tiap-tiap candi yang dilalui. Parswadewata di Jawa ditafsirkan sebagai persembahan kepada roh nenek moyang yang telah bersatu dengan Siwa dan di candi disimbolkan dalam bentuk Lingga-Yoni yang dikawal dewa pengiring, yakni Durga (istri Siwa), Ganesha (anak Siwa), dan Agastya (seorang resi yang memiliki kemampuan spiritual setara dengan dewa).

Candi Gedong Songo ini banyak kemiripan dengan candi yang ada di Dieng yang berada di Kabupaten Banjarnegara (petualangan selanjutnya). Komplek candi ini di buat berderet dari  bawah ke atas perbukitan mengintari kawah sumber air panas. Dimana komplek candi di Dieng juga banyak kawah air panas yang berada tak jauh dari pusat candi. Pembuatan candi yang simetris dan berada atas bukit menunjukan perpaduan dari dua religi yaitu lokal yang menganut kepercayaan terhadap nenek moyang dan budaya hindu dimana candi sebagai tempat tinggal para dewa. Candi yang dibuat kuncup ke atas mirip dengan budaya jaman batu yaitu punden berundak-undak.  Prinsipnya bawah semakin ke puncak, maka roh nenek moyang semakin dekat dengan manusia. Nah, kedua budaya ini menyatu di Candi Gedong Songo dengan mendefinisikan sebagai tempat persembahan untuk roh nenek moyang dimana tempat untuk melakukan prosesi tersebut berada di komplek candi yang berada di atas perbukitan.

Di kawasan cagar budaya Candi Gedongsongo yang bersuhu rata-rata 19 sampai 27 derajad celcius ini ternyata memiliki bio energi terbaik di Asia. Bioenergi di kawasan ini bahkan lebih baik dari yang berada di pegunungan Tibet atau pegunungan lain di Asia. Setelah kita menghirup bioenergi ini dapat memberikan kesegaran di pikiran sehingga memunculkan ide-ide segar. Hal ini akan sangat membantu memberikan kemajuan dan meningkatkan kualitas hidup.


Candi Gedong Songo
Sebenarnya, kompleks Candi Gedong Songo ini berkaitan erat dengan situs Candi Promasan yang berada di Desa Ngesrepbalong Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal dan Kompleks Candi Argosomo yang berada di Desa Gonoharjo Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal. Jika dihubungkan dengan sebuah proses maka ketiga situs ini adalah sebuah rangkaian perjalanan religi pendalaman agama Hindu.

Dalam pandangan dan asumsi penulis, Kompleks Candi Gedong Songo dipergunakan sebagai sarana peribadatan penganut agama Hindu Jawa pada waktu itu. Sebagaimana telah disebut di atas. Posisi geografis candi yang menggambarkan perjalanan ke nirwana menjadikannya sebagai tempat penggemblengan calon-calon wiku atau pendeta serta sebagai tempat mendoakan leluhur atau arwah nenek moyang.

Sedangkan pada situs Candi Promasan, tempat ini dijadikan sebagai tempat meditasi bagi para calon wiku atau pendeta Hindu Jawa sebelum mereka ditahbiskan di kompleks Candi Argosomo, hal ini logis mengingat kompleks Candi Promasan berada di kaki gunung Ungaran sebelah timur laut yang menghadap tepat ke arah Laut Jawa, dan hanya berjarak sekitar 3-4 jam perjalanan melewati hutan dari Kompleks Candi Gedong Songo. 

Dusun Promasan
Kompleks Candi Promasan sangat strategis, karena merupakan area lapang yang memenuhi syarat sebagai sebuah kompleks pemukiman. Selain itu kompleks Candi Promasan adalah hulu dari Sungai Promasan yang kemudian menyatu dengan rangkaian sungai yang mengalir menuju ke Laut Jawa melewati Kota Semarang. Di kompleks ini terdapat sebuah mata air yang sekarang disebut sebagai Sendang Pengilon oleh warga setempat. Saat ini sebagian besar situs Promasan sudah rusak, hanya tinggal situs pemandian kuno yang berada di Sendang Pengilon yang masih terawat dengan baik.

Dari semua proses peribadatan itu, Candi Argosomo merupakan tujuan terakhir dari pendidikan para wiku agama Hindu-Jawa yang dimulai dari komplek Gedongsongo. Komplek Promasan dan candi Argosomo merupakan tempat “pembaptisan” dan semadi terakhir sebelum dilantik menjadi wiku agama Hindu yang akan menyebarkan Hindu-Jawa ke seluruh penjuru Jawadwipa kala itu. Jika hal ini dikembangkan dan dikemas dengan serius sebagai sebuah paket wisata bukan tidak mungkin akan menarik minat para wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara yang berminat dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Mengingat hal ini adalah suatu refleksi dari perjalanan dan perkembangan budaya Indonesia khususnya Jawa.

Referensi:
http://coretanpetualang.wordpress.com/
http://www.parisada.org/

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat