Menjadi Radikal Karena Pemahaman, Menjadi Toleran Karena Pengalaman

Bagaimana seorang pemuda baik-baik dan pendiam tiba-tiba menjadi radikal bahkan melakukan tindakan terorisme? Dan bagaimana seorang teroris yang telah melakukan aksi teror besar tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi pejuang perdamaian? 

Pertanyaan itu selalu menjadi teka-teki bagi saya (dan sepertinya juga bagi kita semua)

Mawan Kurniawan seorang lulusan terbaik jurusan informatika sebuah universitas di Bandung, meretas (hacking) sebuah situs investasi dan berhasil mencuri miliaran rupiah untuk mendukung kelompok teror di Poso. Hilman Jayahadikusuma, seorang anak muda "urakan" dari Bandung yang dipenjara karena kasus narkoba, setelah keluar dari penjara menjadi radikal. Hilman terlibat perencanaan bom Bali 3 yang keburu terendus aparat. Taufik dan Iwan Cina terlibat perampokan CIMB Niaga tahun 2010 untuk mendukung berbagai aksi "jihad". Padahal mereka dulunya adalah preman-preman yang sama sekali jauh dari dunia "jihad".

Bukan hanya di Indonesia, Di Amerika, Rezwan Firdaus, mahasiswa Northeastern University Boston, anak band yang tidak terlalu religius, tiba-tiba menjadi sangat religius bahkan radikal, hingga akhirnya ia tertangkap FBI karena merencanakan melakukan pemboman gedung Pentagon dengan pesawat mainan yang dia rancang. 

Dalam sebuah diskusi Gerakan Islam Cinta (GIC), Solahudin, peneliti gerakan radikal dan terorisme yang juga penulis buku "NII hingga JI: Salafisme Jihadisme di Indonesia", mengungkapkan temuan yang menarik. Solahudin membuat list orang-orang yang terlibat aksi terorisme, dari 300 nama yang telah ia teliti, secara demografi mereka sangat beragam. Secara ekonomi, ada yang berasal dari kelas bawah, menengah, dan atas. Secara intelektual ada yang istimewa, ada yang biasa-biasa. Ada yang dari kota ada yang dari desa. Sangat beragam. Arinya faktor ekonomi, status sosial bukan menjadi faktor utama terorisme. Lalu apa?

Dari semua perbedaan itu, mereka memiliki satu kesamaan: mereka pernah bersentuhan, aktif atau belajar agama melalui kelompok "keras". Dari sana bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme yang mereka lakukan selalu dilandasi oleh PEMAHAMAN mereka terhadap agama yang mereka dapat dari kelompok-kelompok yang cenderung keras.

Hilman yang awalnya begitu sekular bahkan tenggelam dalam dunia narkoba, tiba-tiba menjadi berubah setelah bertemu Imam Samudra di penjara Grobogan. Meskipun singkat, Imam Samudra berhasil memberi "pencerahan" dan membangkitkan semangat jihad Hilman dan menjadikannya sebagai pelanjut terror bom Bali episode 3. Hal serupa dialami Taufik dan Iwan Cina yang "mengaji" Islam dari Toni Togar alias Hasan, terpidana 20 tahun penjara atas aksi pembakaran gereja di Pekanbaru, Riau, saat malam Natal dan terlibat pemboman hotel JW Marriot pada 2003.

Mawan Kurniawan, si anak jenius yang berhasil membobol situs investasi Malaysia menempuh cara lain belajar Islam. Sebagai anak muda yang tengah mencari, dia belajar Islam kepada Mbah Google. Sayangnya, Google tidak selalu mengantarkan kita pada sumber yang valid. Kelompok-kelompok Islam keras sangat jago SEO (Search Engine Optimizer), mereka telah mengkapling index google dengan konten konten materi Islam yang keras. Sehingga ketika Mawan Kurniawan mengetikkan "Cara Belajar Shalat" google menyajikan Islam yang bernuansa keras. Bagi anak muda yang sedang mencari kebenaran seperti Mawan, tawaran Islam yang keras cukup menantang dan menggairahkan. itulah awal yang mengantarkan mawan pada pemahaman Islam, jihad, hingga aksi terorisme. Hal serupa juga yang dialami oleh Rezwan Firdaus di Boston. Dipancing oleh agen-agen FBI yag menyamar sebagai mentor agama islam di internet, Rezwan terus dicekoki tentang ajaran-ajaran "jihad" hingga ia ditawari untuk membeli sebuah alat untuk membom pentagon. 

Pemahaman Islam yang radikal dan keras memang tidak selalu berujung pada aksi terorisme. Tapi terorisme selalu berawal dari cara berpikir yang radikal. "Radicalism is only one step short of terrorism" mengutip Rizal Sukma (2004). Pemahaman terhadap Islam yang radikal bisa ditandai dengan sikap terutup tidak bergaul dengan kelompok lain, menganggap kelompoknya paling benar dan kelompok lain sesat, antidialog dan penuh prasangka. 

Berita buruknya adalah tanda-tanda radikalisme itu ternyata makin terlihat di lingkungan kita. Di kalangan kaum muda gererasi penerus bangsa ini. Dari hasil survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang digelar tahun 2010-2011 di 69 sekolah di Jabotabek cukup mengkhawatirkan. Setengah responden atau 50% siswa setuju aksi kekerasan demi agama, 14,2% setuju dengan aksi terorisme yang dilakukan Imam Samudra dan Amrozi. 

Beberapa pengalaman saya dan rekan-rekan yang aktif mengkampanyekan perdamaian mengkonfirmasi temuan di atas. Pelatihan pendidikan perdamaian PeaceGeneration kami di sempat dibubarkan oleh sekelompk pemuda yang menganggap kami tengah menyebarkan faham sekular dan liberal. Rekan-rekan lain dari Maarif Institute yang melatih siswa-siswa untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan dan empati, malah dituduh liberal. Belum lagi sejumlah tweetwar dan perang comment di social media yang sangat mudah menuduh kafir dan sesat. 

Lalu bagaimana menghadapinya?

Perdebatan, diskusi, adu pemahaman terbukti sulit mengubah pemahaman seseorang. Sebab secara alamiah seseorang yang telah memegang kuat pemahaman, akan mempertahankannya, sekuat mungkin. Bahkan semakin kita debat, semakin yakin dia pada pemahamnnya. Berbagai dalil agama yang menunjukkan bahwa agama Islam itu rahmatan lilalamin dan lemah lembut, bisa dipatahkan oleh ayat-ayat yang "keras" yang dicomot sana sini.

Sejumlah peristiwa dan contoh, meyakinkan saya bahwa PENGALAMAN-lah yang mengubah pemahaman. 

Pak Toni dan Pak Wahyu, adalah dua dari sekian korban bom JW Marriot. Pak Wahyu, saat bom meledak berada tepat di pinggir kaca besar, dan di seberang kaca itulah mobil yang berisi bom meledak. Dapat dibayangkan bagaimana pecahan kaca berhamburan dan menancap di tubuhnya. Mereka cacat seumur hidup dan menjalani pengobatan bertahun-tahun unutk dapat kembali hidup normal. Ketika bertemu mereka, saya dapat melihat bekas-bekas luka ditubuh pak Toni dan Pak Wahyu. Tapi mereka berhasil bangkit. Bahkan mereka mengorganisir para korban bom untuk melakukan aksi sosial mengadvokasi para korban bom. 

Bukan hanya itu, mereka juga mencoba menyembuhkan rasa sakit mereka dengan berusaha memaafkan para pelaku bom. Mereka datang ke penjara menemui para pelaku bom, mengajak berbicara dari hati ke hati. Dengan tulus mereka menyampaikan bahwa mereka tidak menyimpan dendam bahkan inign menjalin persahabatan dengan para pelaku. Dalam beberap foto, Pak Toni terlihat berbincang akrab dnegan Umar Patek salah satu teroris yang sempat menjadi orang paling dicari intelejen Amerika. Umar Patek begitu miris ketika Pak Toni memperlihatkan sejumlah luka di tubuhnya. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya mereka menajdi sahabat. Sebuah foto memperlihatkan Umar Patek mengimami shalat, Pak Toni dan beberapa korban bom berdiri sebagai makmum. Secara eksplisit Umar Patek menyesali perbuatannya dan menyadari kesalahan tindakannya. Tidak ada perdebatan soal "konsep jihad", tak ada perbincangan tentang "radikalisme". Hanya berbicara dari hati ke hati. Sebuah pengalaman yang menyentuh, hingga runtuhlah pemahaman Umar Patek tentang pemaknaannya terhadap agama selama ini. 

Demikian juga yang terjadi pada Yonathan, seorang pilot Israel yang bertugas mengebom Palestina. Dia berbalik 180 derajat menjadi aktivis perdamaian setelah mengalami peristiwa yang menyentuh. Sebuah bom yang dia jatuhkan di pemukiman Palestina menyebabkan seorang anak perempuan meninggal seketika. Sulaiman, sang ayah mengumumkan bahwa siapapun yagn menyebabkan kematian anaknya, dia maafkan. Mendengar itu, Yonathan tersentuh dan menjalin persahabatan dengan Sulaiman dan mereka mendirikan Combattan For Peace, sebuah organisasi yang mewadahi mantan militer Israel dan mantan anggota kelompok radikal Plestina, yang giat mengkampanyekan cara-cara damai untuk penyelesaian konflik Israel-Palestina. 

Saya dan tim PeaceGeneration, pernah mempertemukan anak-anak sekolah Internasional yang mayoritas beragama kristen dengan santri-santri sebuah pesantren di Garut. Orangtua siswa sekolah internasional mayoritas tidak mengizinkan karena mereka khawatir dengan image pesantren sebagai sarang teroris. Demikian juga, pihak pesantren ragu menerima siswa-siswa bule yang kristen. Pihak pesantren khawatir persepsi masyarakat tentang kehadiran non muslim di pesantren. Ada juga yang khawatir anak-anak bule itu akan memberikan pengaruh buruk budaya barat pada para santri. Tapi semua kekhawatiran tidak terbukti. Para santri dan siswa siswa sekolah internasional beraktivitas bersama, diskusi, bertukar pikiran, dan kurang dari 12 jam mereka sudah menjadi sahabat. Salah seorang peserta dari sekolah Internasional yang sudah sekitar lebih dari 10 tahun di Indonesia, mengalami perubahan persepsi tentang Islam dan muslim. Selama 10 tahun dia tak pernah punya sahabat muslim, karena ia tersandra oleh pemahamannya tentang islam seperti digambarkan media. 

Dan masih banyak lagi contoh dan bukti yang meyakinkan saya bahwa pengalaman dapat memabntu kita mengubah persepsi kita. Seorang yang pernah mengaliai hidup sebagai minoritas, akan memiliki sense toleransi yang jauh lebih tinggi dari pada orang yang selslu hidup sebagai mayoritas. Seorang siswa yang punya teman dari berbagai suku, bangsa dan agama, akan lebih faham tentang makna menghargai. Pengalaman mengantarkan pada pemahaman yang lebih dalam. []

*) Irfan Amalee, Co-founder PeaceGeneration Indonesia, www.peace-generation.org

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo