TUHAN Ada Karena Kita Percaya.

courtesy of Kompas.com
TUHAN adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendakNYA.[1]

Lalu pernahkah kita bertanya pada diri kita masing-masing, mengapa kita percaya bahwa TUHAN itu ada? Atau belum pernah terfikir untuk menanyakan  hal tersebut pada diri kita? Secara umum kebanyakan dari kita akan beranggapan TUHAN itu ada karena  ketika masih kecil orang tua kita juga percaya bahwa TUHAN  itu ada. Sehingga sampai saat ini kita percaya TUHAN itu ada tanpa mempertanyakan kembali kenapa kita menganggap bahwa TUHAN itu ada.[2]

TUHAN ada karena kita percaya dan karena kita berpikir. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana dan mungkin jarang terlintas dalam benak kita. Pernahkah kita sejenak berpikir, apakah sebuah gelas bisa ada tanpa ada yang membuatnya? Apakah sebuah mobil bisa ada tanpa ada pabrik yang merakitnya? Apakah kita bisa merokok ketika tidak ada pabrik yang meramunya? Tentu tidak! Semua itu ada karena ada yang menciptakan. Siapa yang menciptakan benda-benda itu? Manusia seperti kita.

Bagi penganut ajaran anti-TUHAN dan mereka yang menolak keberadaan TUHAN, logika di atas adalah sebuah kebodohan dan kenaifan yang parah. Mereka akan berkata bahwa TUHAN dipersamakan (oleh yang mempercayaiNYA) dengan benda-benda buatan manusia. Namun itu sebenarnya tidak bisa dipungkiri, untuk menjelaskan sebuah kepercayaan semuanya itu perlu dilakukan. Bagi mereka yang tidak mempercayai adanya TUHAN akan berkata bahwa TUHAN sudah mati. Seperti yang dikatakan oleh Friedrich Nietzsche dalam bukunya
Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?. -- Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125.[3]
Kembali kepada keberadaan TUHAN sebagai Sang Pencipta, siapa yang menciptakan manusia? Apakah sesama manusia? Apakah sebuah industri manufaktur yang membuatnya? Tentu tidak. Manusia ada di dunia karena TUHAN telah menciptakan makhluk-makhlukNYA untuk mengisi dunia ini.

Setelah kita mengetahui siapa yang menciptakan manusia ini, pasti muncul pertanyaan: Seperti apa DIA yang menciptakan manusia? Sama seperti logika di atas. Apakah yang menciptakan gelas berwujud seperti gelas? Apakah yang menciptakan rokok berwujud seperti rokok? Pasti kita menjawab tidak. Yang menciptakan gelas dan rokok pasti berwujud lebih mulia daripada benda yang dia ciptakan. Demikian juga dengan TUHAN, Dia tidak mungkin berwujud seperti benda-benda dan makhluk-makhluk ciptaanNYA. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. Asy-Syura: 11).
Lalu di manakah TUHAN sekarang berada? Mungkin bagi pemeluk agama lain mereka mempunyai versi sendiri-sendiri dalam memahami keberadaan TUHAN mereka. Sebagai seorang pemeluk Islam saya percaya TUHAN berada di langit, di 'Arsy. Sebuah tempat yang menjadi singgasana kerajaan dan tahta TUHAN yang tidak bisa didefinisikan menurut pandangan manusia.[4][5] Mari kita perhatikan firman Allah SWT berikut:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas ´Arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).
dan 
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (QS. Al-Mulk: 16-17).
Dalam ayat ini sangat jelas bahwasannya Allah Swt ada di langit bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Namun ilmu-Nya meliputi segala yang ada di langit maupun di bumi. Ia mengetahui semua yang telah Ia ciptakan dari awal hingga akhir tanpa terkecuali.[6]

Hal lain yang dapat dijadikan dalil adalah fitrah manusia jika berdo’a maka hati dan fisiknya mengarah ke atas (ke langit). Bahkan ini terjadi pada semua agama, termasuk anak kecil yang keilmuannya masih cetek. Belum ditemukan, ada orang dari agama manapun yang jika berdo’a ia mengarahkan hati dan fisiknya ke arah bawah (tanah) atau ke samping kiri dan ke samping kanan.[7]

Jadi tidak ada gunanya kita memaksakan diri untuk memikirkan bentuk singgasana dan wujud Allah karena ujung-ujungnya kita akan tersesat.  Akal manusia sangat terbatas, daya jangkaunya pun sangat rendah. Ada jutaan misteri dalam hidup ini yang sejak dahulu hingga detik ini belum bisa terjawab dan mungkin tidak akan terjawab hingga seluruh manusia mati.[8]

Kewajiban yang diperintah Allah Swt kepada kita hanyalah meyakini bahwa Allah ada di langit, duduk bersemayam diatas ‘Arasy sesuai dengan apa yang dijelaskan Al-Qur’an dan Hadits Sahih tanpa menggambarkan atau mempertanyakan teknisnya.[9]


Referensi dan sumber:

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Diagram Bagian-Bagian Daging Sapi Bagian #1

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo