Islam, Demokrasi, dan Fasisme

Aktivis wanita HTI dalam demonstrasi
menolak kenaikan BBM
Sebenarnya tidak ada yang abadi dan murni dalam tujuan hidup di dunia ini. Mengejar kekuasaan, mencecap kekuatan, dan menghisap sari pati kemakmuran adalah tujuan utama dalam hidup. Barangkali ini dianggap naif oleh banyak orang. Namun inilah faktanya. Sebuah kenyataan yang pasti diingkari oleh mereka-mereka yang mengaku bernalar "Tuhan", mereka-mereka yang gila dan buta karena tipu nafsu keduniawian.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang tata cara ibadah para pemeluk Islam, apa saja madzhab dalam Islam, siapa saja yang murni dalam menjalankan ajaran Islam atau perayaan-perayaan yang berkaitan dengan Islam. Islam dalam tulisan saya ini merujuk kepada gerakan-gerakan politik yang mengatasnamakan agama (Din) dan ketuhanan untuk melegalkan semua tindakannya.

Islam, Demokrasi, dan Fasisme. Inilah yang diangkat dalam tulisan ini. Ini semua berkaitan dengan politik, entah itu sesuai dengan syariat atau politik sekuler bahkan anti ketuhanan. Tapi sebelumnya apa yang dimaksud dengan politik itu?

Politik berasal dari bahasa Yunani Polis yang artinya kota atau negara, yang kemudian muncul kata-kata polities yang artinya warga negara dan kata politikos yang artinya kewarganegaraan. Politik adalah seni tentang kenegaraan yang dijabarkan dalam praktek di lapangan, sehingga dapat dijelaskan bagaimana Imbungan antar manusia (penduduk) yang tinggal di suatu tempat (wilayah) yang meskipun memiliki perbedaan pendapat dan kepentingannya, tetap mengakui adanya kepentingan bersama untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Penyelenggaraan kekuasaan negara dipercayakan kepada suatu badan/ lembaga yaitu pemerintah.

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.[1]

Lalu apakah hubungannya politik dengan Islam? Disini kita bisa melihat bahwa Islam adalah yang paling cocok dijadikan komoditas politik. Lalu apa yang menyeret Islam kedalam jurang perpolitikan? Ini semua tak lepas dari runtuhnya kesultanan Turki Osmani. Kaum Islamis menganggap runtuhnya kesultanan ini menjadi semacam peringatan akan "rawannya" perpolitikan yang berdasar agama. Mereka beranggapan lenyapnya khilafah juga menyebabkan umat ini tidak lagi memiliki institusi yang menyatukan mereka. Sebab, khilafah adalah muwahhid al-ummah, penyatu umat. Dengan khilafah, umat Islam dapat dipersatukan dalam satu negara dan satu kepemimpinan. Umat Islam pun menjadi umat yang kuat.[2]

Sistem Khilafah dapat didefinisikan sebagai “sistem pemerintahan Islam yang meneruskan sistem pemerintahan Rasul SAW, dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW”.  Jadi, dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem Khilafah ini dimulai pertama kali ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq memegang pemerintahan sepeninggal Muhammad bin Abdullah, rasul Umat Islam, pada tahun 632 Masehi.

Para pengusung dan pejuang khilafah Islamiyah ini beranggapan bahwa demokrasi bukanlah sebuah solusi untuk suatu sistem pemerintahan dan keadilan bagi rakyatnya. Mereka beranggapan khilafahlah yang akan menjadi jawaban dan itu mereka sangat mempercayainya. Namun hingga saat ini mereka belum bisa memberikan jawaban atas bukti-bukti yang ada.Dan mereka percaya bahwa khilafah adalah sebuah sistem universal universal dan mondial, bukan untuk segolongan bangsa, ras, atau penganut madzhab tertentu.

Dari sedikit gambaran di atas, bukankah itu juga sebuah tujuan politis. Walaupun dibungkus dengan rapi menggunakan lembaran-lembaran kitab suci dan hadits-hadits yang mereka katakan shahih dan jelas sanadnya. Lalu apa tujuan mereka sebenarnya? Ingin memakmurkan Islam bersama pemeluk-pemeluknya, ataukah mereka ingin duduk dalam sebuah sistem politik dan pemerintahan yang mereka anggap halal dan surgawi?

Lalu, apa yang salah dengan demokrasi? Salahkan Indonesia menerapkan demokrasi?

Ada kekhawatiran, jika demokrasi gagal mewujudkan janji untuk peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan, kian banyak warga berpaling pada sistem politik lain. Demokrasi memiliki batas dan kelemahan tertentu; ia bukan sistem yang seratus persen tanpa kelemahan.

Pada satu sisi, demokrasi memberikan ruang amat luas bagi kebebasan politik dan partisipasi politik warga, misalnya. Akan tetapi, pada saat yang sama, kebebasan politik demokrasi yang berlangsung cenderung kebablasan beriringan dengan lambatnya pengambilan keputusan, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Akibatnya, program pembangunan tidak dapat berjalan baik dan peningkatan kesejahteraan warga kian jauh.[3]

Lalu mengapa "kaum Islamis" menolak demokrasi? Ada beberapa alasan mengapa mereka menolak demokrasi.

Pertama, yang merekayasa dan berdiri di belakang ide demokrasi adalah negara-negara Barat. Hal ini merupakan suatu bentuk agresi budaya Barat ke negeri-negeri Islam.

Kedua, demokrasi adalah idealisme utopia, tidak layak diimplementasikan. ‘mungkin’ hanya Yunani kuno satu-satunya negara yang pernah mewujudkan demokrasi. Manakala suatu negara berupaya menetapkan ide demokrasi, mereka seringkali harus melakukan kebohongan-kebohongan publik. Demokrasi pada kenyataannya tidak pernah merepresentasikan kepentingan seluruh rakyat.

Ketiga, sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun oleh manusia untuk manusia. Karena manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, dan sesungguhnya hanya Allah-lah yang terbebas dari kesalahan, maka sistem dari Allah saja yang pantas dianut.[4]

Dari beberapa alasan di atas, muncul pertanyaan: 1) Mengapa "kaum Islamis" takut dengan Barat?; 2) Jika demokrasi adalah idealisme utopia, lalu bagaimana dengan khilafah yang mereka usung?; 3) Jika demokrasi adalah buatan manusia dan sistem khilafah dikatakan sebagai sebuah sistem buatan Tuhan, dimana logika mereka jika pencetus demokrasi adalah manusia dan pengusung khilafah juga manusia? Apakah ada dua Tuhan yang menciptakan dua jenis manusia dalam mencetuskan sebuah sistem politik?

Namun sebenarnya demokrasi dan Islam adalah sejalan. Hal ini dibuktikan dari sebuah kisah para sahabat, sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama, “Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.” Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jauh sebelum para Negara-negara sekuler mengagung-agungkan demokrasi.[5]

Bagi mereka, penolakan sistem perpolitikan modern dan kafir adalah harga mati. Semua mereka tolak. Namun ada menarik jika kita melihat perkembangan gerakan-gerakan khilafah seperti sekarang, mereka bergerak bagaikan gerakan fasisme. Mereka lebih menghendaki tafsir tunggal terhadap sebuah sistem politik yang menurut mereka itu benar dan berketuhanan. Mereka menolak sistem-sistem lain dan menutup pintu bagi keragaman penafsiran.

Namun apa itu fasisme? Fascismo adalah istilah yang berasal dari kata Latin "fases" (ejaan Romawi: fasces). Fases, yang terdiri dari serumpun batang yang diikatkan di kapak, adalah simbol otoritas hakim sipil Romawi kuno. Mereka dibawa oleh para liktor dan dapat digunakan untuk hukuman fisik dan modal berdasarkan perintah-Nya. Kata fascismo juga terkait dengan organisasi politik di Italia dikenal sebagai fasci, kelompok mirip dengan serikat kerja atau sindikat.

Simbolisme fases menyarankan kekuatan melalui kesatuan: sebuah batang tunggal adalah mudah patah, sedangkan rumpunan akan sulit untuk mengalami perpecahan. Simbol serupa dikembangkan oleh gerakan fasis yang berbeda. Misalnya simbol Falange yang berbentuk sekelompok anak panah yang bergabung bersama oleh sebuah kuk.

Fasis/Fasisme merupakan sebuah paham politik yang menjunjung kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara.[6]

Jadi  fasisme adalah ideologi tertutup, yang melihat pluralisme menjadi sebuah ancaman. Membaca Maxim Rodinson, maka terlihat bahwa orang-orang dengan pandangan fasis adalah orang yang terjebak dan terbuai dengan mitos, misalnya mitos persekongkolan, atau mitos misi suci.

Mengapa saya mempersamakan khilafah dengan fasisme?  Karena kedua-duanya sama-sama NARSIS! 

Khilafah sebenarnya merupakan kedok ambisi teritorial yang sangat subyektif (dengan menggunakan tafsiran sepihak kitab suci) yang memiliki kaca penglihat yang serupa dengan zionisme. Zionisme adalah fasis versi Yahudi dan khilafah adalah fasis versi mereka yang memimpikan sebuah sistem pemerintahan sesuai dengan "agamanya".

Keduanya mengidealkan mitos penuh rahmat masa lampau, yang sekarang dicemari musuh-musuh yang berkomplot. Zionisme punya kisah Kerajaan Shlomo yang agung, yang penuh susu dan madu. Demikian juga orang islam punya mitos khilafah yang adil. Apakah para pendukung khilfah tahu sejarah kelam Khilafah?[7]

Sebagai catatan, sistem Khilafah tidak mengenal sistem pemilihan umum dalam menentukan siapa pemimpinnya. Sang Khalifah dipilih melalui bai’at dari forum ulama. Jadi, siapa yang bisa menjamin “forum ulama” tersebut tidak bebas kepentingan? selain itu, dalam sistem Khilafah, fungsi masyarakat begitu kecil dalam pemerintahan. Kurangnya kontrol dari rakyat, tentu saja akan berimbas pada kehancuran suatu negara.

Di dunia modern saat ini, sistem khilafah yang murni tentu saja tak bisa diterapkan. Majunya teknologi dan komunikasi jelas berdampak pada semakin cerdasnya masyarakat akar rumput. Masyarakat kini sudah tak mampu lagi dibungkam dan semakin kritis terhadap berbagai macam hal, termasuk terhadap kebijakan pemerintah di negaranya masing-masing.[8]

Jika memang semuanya bermuara pada kemakmuran rakyat, kebebasan untuk menjalankan perintah agamanya, dan keadilan sosial yang seadil-adilnya. Lalu mengapa harus menabuh genderang perang terhadap ideologi politik yang berbeda, mengkafirkan lain aliran, dan menganggap yang lain inferior?

Ah sudahlah. Karena tulisan ini hanyalah ocehan seorang yang memimpikan sebuah utopia.

Referensi:
[1] politikinternational.wordpress.com
[2] HTI -- Wajibnya Memperjuangan Khilafah Islamiyah
[3] Republika -- Demokrasi: Apa yang salah?
[4] lenterahputihku.blogspot.com -- Beberapa Alasan Islam Menolak Demokrasi
[5] Kompasiana.com -- Demokrasi Dalam Islam
[6] Wikipedia.org -- Fasisme
[7] ahmedshahikusuma.wordpress.com -- Zionisme dan Fasisme Islam
[8] Kompasiana -- Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Wacana Penerapannya di Masa Kini

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Diagram Bagian-Bagian Daging Sapi Bagian #1

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo