Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Resi Wisrawa bersama Dewi Sukesi

mengumbar asmara setelah Sastrajendra 

Hayuningrat diberikan, hingga dia lupa tujuan

awalnya yaitu melamar Sukesi untuk anaknya, 
Prabu Danaraja. Dilukis oleh Herjaka H.S.
Dalam lakon wayang Purwa, kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan angkara murka? Bagaimana mungkin kelahiran ”sang angkara murka” justru berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat Sastrajendra.

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan.

Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.[1]

Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke 19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26.

Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra Hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). 

Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia.

Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa mendapat malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya sebagai berikut;
Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni;
  1. Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti.
  2. Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo.

Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa jatuh hati kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat kepada Begawan Wisrawa.
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang.

Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau tidak kuat menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-dosanya maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa yang menakutkan, yakni;
  1. Dosomuko
  2. Kumbokarno
  3. Sarpokenoko
  4. Gunawan Wibisono
Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan kesalahannya, sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak henti-hentinya siang malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua, ketiga dan keempat yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat, Hakekat, Makrifat.

Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya, manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
  1. Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo.
  2. Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
  3. Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
  4. Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).[2]
Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.

Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka. “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol menuju pati prasida.

Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal. Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini diistilahkan sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau warangka manjing curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat bertemunya Bima dengan Dewa Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri.

Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh manusia atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan akal.[3]

Ulasan "Sastrajendra Hayuningrat" Dalam Bahasa Jawa
SASTRAJENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU 
Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu iku, keprungu nalika prabu Sumali ing Alengka nganakake sayembara kanggo njodhokake Dewi Sukesi, putrine. Sarate, sapa sing bisa ngasorake Jambumangli lan bisa mejang ngelmu Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu marang Dewi Sukesi, yaiku pawongan sing bakal disuwitani Sukesi minangka garwane. 
Akeh Ratu lan satriya sing mundur kasoran ora bisa nandhingi kasektene Jambumangli kang apengawak buta. Sing bisa ngalahake Jambumangli ora ana liya kejaba begawan Wisrawa saka pertapan Amulaya, ya ramane prabu Danapati, raja Lokapala. Maune sing dadi raja Lokapala ya Wisrawa kuwi. Keprabon dilintirake marang Danapati sing isih jaka taruna. Wisrawa banjur madeg dadi pandhita ing pertapan Amulaya. 
Krungu yen ing Alengka ana sayembara putri, sabenere Danapati sing arep mangkat melu ngleboni nanging dicegah dening ramane kanthi alasan , sepisan, nguwatirake keslametane anak yen nganti kedrawasan awit Jambumangli iku sekti mandraguna. Kapindho, Danapati ora ngerti ngelmu Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu sing kudu diwejangake marang Sukesi minangka sarate. 
"Rama sing kepeksa mangkat, Ngger...Idhep-idhep luru mantu, Dewi Sukesi bakal takjodhokake marang sira yen Rama bisa mupu sayembara iku," mengkono ujare begawan Wisrawa marang Danapati sadurunge mangkat menyang Alengka.  
Nanging enggoking lelakon mleset saka niyat sakwit. Ing nalikane Wisrawa mejang Sastrajendra marang Sukesi jroning gedhong kang sepi ing wayah bengi awit ora kena dirungu liyan, Wisrawa kang tuwa kisut iku malah kepencut marang kasulistyane Dewi Sukaesi kang isih kenya, satemah Sukesi nggarbini. Lair anake mbarep Rahwana ya Dasamuka kang awujud raseksa. Sateruse lair Kumbakarno kang uga uga buta. Mengkono uga kang lair wadon, Sarpakenaka, wujud raseksi, buta wadon. Anak-anake iku banget ala watake, candhala ing budi, degsiya murang tata, seneng ngumbar kamurkan. 
Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu, anyariyosaken pepuntoning kawruh kasampurnan Budha, ugi saged cundhuk kaliyan pikajengipun ilmu Ma'rifat. ( Menceritakan puncak ilmu kesempurnaan Budha yang juga cocok dengan makna ilmu Ma'rifat ), mengkono pratelane Mas Ngabehi Prawirahamijaya, redaktur Jawi Sejati ing buku terbitan Budi Utama, Surakarta, th 1918. 
Dene miturut Ir Sri Mulyono ing bukune, apakah Satrajendra itu ? Sastra adalah ngelmu (kitab) atau ajaran. Jendra adalah Nalendra ( Gusti = Raja Tertinggi ). Pendek kata, Sastrajendra adalah akhir dari segala akhir ajaran ngelmu, sehingga sudah tak ada lagi ngelmu yang dapat dicapai manusia ( Entek-entekane kawruh, pepuntoning laku laku utawa pucuking Ma'rifat ). 
Banyak orang mengira bahwa begawan Wisrawa sudah memiliki Sastrajendra. Namun sesungguhnya ia sedang dalam perjalanan untuk berusaha mendaoatkan Sastrajendra pangruwating diyu, tapi tergelincir napsu kelamin yang dilambangkan dengan tokoh Dewi Sukesi. Maka lahirlah anak-anaknya yang berujud raksasa jahat sebagai simbol Wisrawa yang belum bersih benar jiwannya. 
Ukara 'Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu' yen disemak saka tegese tembung siji lan sijine, yaiku :
Sastra = serat ; kitab utawa ajaran.
Jendra = Nalendra ; Ratuning ratu utawa Gusti.
Hayuningrat = hayu saka tembung rahayu, tegese slamet. Ing rat = ing jagad.
Pangruwating = ngendhaleni utawa ngowah sing ala dadiya becik.
Diyu = buta ; raseksa. 
Jlentrehe, iku ajaran saka Gusti kanggo manungsa amrih bisane slamet uripe ndonya - akherat kudu sarana ngendhaleni watak buta ing sajroning awake. Wataking buta iku , budine ora tata. Srakah angah-angah, drengki, srei , panasten , brangasan, degsiya, kumalungkung aji pumpung, sawenang-wenang dhemen gawe karusakan kanggo kauntungane awake. 
Ing awake saben wong kedunungan watak amarah, watak diyu ya watak buta. Watak buta sing ora ngerti ing kautaman mengkono iku perlu diruwat, diowah sarana dikendhaleni amrih ora kebacut ndadra nguwasani awak. Yen watak buta sing ana ing saben awake wong iku diumbar, tundhone bisa gawe rusaking urip. Ora mung ngrusak uripe dhewe, nanging uga bisa ngrusak uripe bebrayan agung. 
Wisrawa ing atase begawan, pandhita suci, isih kepleset ora bisa ngempet ngendhaleni napsune nalika sesandhingan karo Sukesi sing pancen sulistya ing warna jroning gedhong kang sepi. Banjur ing endi dununge tembung : Sabda pandhita Ratu ? 
Sabdane pandhita utawa Ratu, sepisan dadi, diugemi, ora kena mencla-mencle. mangka mmanghkate saka Lokapala kanthi niyat golek mantu, dijodhokake prabu Danapati, anake. Jebul Sukesi dialap dhewe. Yaiki sing ngruntuhake martabate Wisrawa satemah lair anak-anake wujud buta kang mujudake simbol kurang resiking jiwane Wisrawa. 
Wiwit laire Rahwana, anak mbarep wujud buta, Wisrawa kang sedhih duwe anak kaya mengkono, banjur nindakake laku prihatin.Ing pangajab aja nganti duwe anak maneh kaya mengkono wujude. Ewasemono isih lair maneh anake wujud buta, nandhakake yen Wisrawa durung resik temenan jiwane. Dadine saya mempeng enggone tirakat, luwih manther enggone semedi nenuwun marang Kang Akarya Jagad. Andekpuna isih lair maneh anak ketelu wujud raseksi. 
Saya gentur enggone olah batin, meper hawa napsu kanggo resiking jiwa. Lagi ing sateruse lair anak wuragil kang bagus rupane, yaiku Gunawan Wibisana kang seneng marsudi ing olah kautaman. Iku minangka simbol yen Wisrawa ing akhir uripe lagi bisa nguwasani ngelmu Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu. (Djajus Pete)
Katrangan tegesing tembung: 
keprungu = terdengar ( bhs Ind)
ngasorake = ngalahake
mejang = mulang
pawongan = wong
disuwitani = dingengeri 
apengawak buta = awake wujud buta
keprabon = krajan = kerajaaan ( bhs Ind ) 
dilintirake = diwarisake
jaka taruna = jaka kang umure isih enom
kedrawasan = katiwasan = bilahi = cilaka
sekti mandraguna = sekti banget
sira = kowe
luru mantu = golek mantu
mupu sayembara = menang sayembara.
Referensi:

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Diagram Bagian-Bagian Daging Sapi Bagian #1

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo