Alam dan Ungkapan Kekesalan Kita
Banyak yang menyadari bahwa kita sebenarnya sangat bergantung dengan alam. Bahkan sering pula kita bercerita tentang keindahan dan pesonanya. Namun, apakah kita juga memperdulikan alam itu sendiri? Jawaban secara jujurnya adalah TIDAK. Kita jarang memperdulikan alam, jarang memperhatikannya, apalagi bergerak untuk melindungnya. Walaupun masih ada saudara-saudara yang terpanggil dan bergerak untuk tetap berjuang dalam melindungi alam raya.
Padahal alam telah menyediakan air yang kita minum, udara yang kita hirup, dan bahan makanan yang melimpah ruah yang kita konsumsi untuk menyambung dan mempertahankan sisa hidup yang kita miliki. Hutan, gunung, sungai, gua, rawa, laut, menyediakan semuanya untuk kita. Dan kita semua sering bahkan sangat menyukai wisata yang berkaitan dengan alam. Di pantai, gunung, sungai, gua, atau landscape-landscape lainnya. Namun kita jarang berterimakasih kepada alam. Bahkan kita cenderung menempatkan alam sebagai tempat sampah atas perilaku-perilaku manusia.
Betapa tidak, sering kita mengumpat dan mempergunakan alam sebagai obyek untuk membuang segala kekesalan yang kita rasakan. Kesal, jengkel, penat, lelah, marah, memang harus diungkapkan agar menemukan obat dan solusinya. Namun apakah kita juga berpikir mengumpat dan menjadikan alam sebagai obyek pembuangan kemarahan, kekesalan, dan kejengkelan adalah sebuah 'kepantasan' dan 'kepatutan' kita sebagai manusia yang berbudi?
Jika memang masih saja mengumpat dan menjadikan alam sebagai 'Tempat Pembuangan Akhir' kejengkelan dan 'kegalauan' yang kita rasakan masihkah mau kita berkunjung dan menikmati apa yang disajikan 'TPA' itu untuk menyambung sisa hidup yang semakin berkurang ini?
Tulisan ini mungkin sangat absurd dan beraliran subjektif. Namun inilah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri.