Subyektivitas: Kita Diturunkan Untuk Belajar dan Tumbuh

Illustrasi
Masih saja lagu itu memukauku dengan liriknya yang inspiratif. Yang memuat nilai-nilai positif dalam kehidupan. Bukan semata karena sayatan gitar yang melengking layaknya raungan binatang yang terluka. Bukan jeritan vokalis yang menyayat jiwa. Melainkan makna yang ada dan pastinya akan terus ada.

Ya ... Masih saja aku memutar lagu dari Helloween [Helloween Official on Facebook] yang berjudul 'Salvation' hingga orang-orang menutup telinga karena bosan mendengarnya. Tak apa lah, biar mereka bosan karena mereka belum tahu apa yang sebenarnya tersurat dalam lagu speedmetal itu.

Selain karena lagu itu pasti lah ada hal lain yang menjadi penyebab tulisan ini muncul di laman facebook. Mungkin subyektivitas pandangan menjadi hal yang sangat utama. Ya subyektivitas adalah hal yang berkuasa dalam kehidupan manusia. Semua manusia yang hidup di dunia ini pasti mengalami permasalahan dengan yang berjuluk 'subyektivitas'. Memandang hal lain hanya menurut pola pemikiran dan pandangannya sendiri. Hanya melewati kacamata mereka.

Paham ini menjadikan kehidupan manusia semakin terpuruk jika terus-terusan dipelihara. Mengapa tidak? Dimana akan terjadi titik temu jika subyektivitas yang dipaksakan dalam setiap aspek kehidupan. Lalu apa hubungannya dengan lagu Helloween? Ya jelas tidak ada hubunganya lah, lagu yang kuputar itu juga sebuah sebentuk subyektivitas. Namun, menurutku ada yang perlu digarisbawahi dalam setiap bait dan lirik lagu itu.

All my life I was sure
Kept my thoughts real, clean and pure
Just as I will always know
We're down here to learn and grow

Bahwa manusia hidup haruslah mempunyai suatu kepastian (lagi) dan tetap menjaga hati, pikiran, dan nurani mereka agar tetap nyata, bersih, dan murni. Bukan pikiran-pikiran yang terkontaminasi. Dan harus kita sadari bahwa manusia diturunkan ke dunia adalah hanya untuk belajar dan tumbuh. Lalu apa lagi hubungan dengan subyektivitas?! Jelas ada hubungan dengan subyektivitas.

Ketika manusia hidup di dunia ini, tidak mungkin ia hidup sendirian dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Manusia terlahir dengan fitrah sebagai makhluk sosial, yang harus dan selalu membutuhkan orang lain untuk hidup. Untuk itu mengapa terkadang kita memaksakan ego dan pandangan subyektif kita kepada pihak lain? Bukankah kita hidup harus belajar dan tumbuh? Belajar untuk bisa menghormati dan memahami pendapat serta pandangan pihak lain. Agar tumbuh menjadi pribadi yang jelas bisa membawa dan menyelesaikan misi memuliakan kehidupan.

Jika memang kita ada pandangan subyektif maka tempatkan saja dalam wacana dan diskusi, bukan sebagai pemahaman yang memaksa orang lain untuk bertindak dan memahami pikiran kita.

Edisi ngelu. Boja, 7 Januari 2014 21:20 H

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo