Urip Iku Urup: Nyala Kehidupan
Courtesy of Yoerizqa Ayuningtyas |
Sebenarnya apa yang dicari ketika manusia masih mempunyai sisa umur dan kesempatan hidup? Banyak orang sepakat menjawabnya dengan ‘kebahagiaan’. Dan kebahagiaan itu bisa ditafsirkan dalam berbagai makna. Mungkin banyak yang menganggap ‘kebahagiaan’ itu didapatkan dari materi, ada juga yang lain menjabarkan ‘kebahagiaan’ dengan sebuah kepuasan rohaniah yang tidak bisa dinilai dengan materi.
Baiklah, monggo silahkan orang berpendapat sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Namun tak ayal awam mensahkan keduniawian sebagai syarat mutlak untuk meraih ‘kebahagiaan’ betapa tidak berbagai macam argument mereka utarakan (?). Memang, manusia dalam menghabiskan sisa hidup tak lepas dengan keduniawian/kebendaan atau materialism. Hidup butuh biaya, adalah argument yang menempati urutan pertama.
Lalu mengapa kita seolah mengkesampingkan factor rohani dan spiritual? Tidak. Bukan dikesampingkan melainkan dua hal itu sudah berjalan sebagaimana mestinya. Sudah berjalan sesuai dengan apa yang masing-masing percayai.
Naif memang jika masih saja ada yang berkata bahwa kehidupan di dunia bukan hanya perkara materialism. Namun itulah kenyataannya. Untuk mencapai kebahagiaan yang diinginkan, banyak orang melakukan segala macam cara untuk meraihnya. Bekerja keras, itulah yang ditempuh. Walaupun pada akhirnya pencapaiannya sangat berbeda.
Berdagang. Mencuri. Korupsi. Menipu. Membunuh. Menindas. Memperkosa. Dilakukan dengan kesadaran penuh untuk mencapai kebahagiaan, untuk mencapai suatu tingkatan social dalam masyarakat. Dijalani sebagai profesi. Untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan. Meraih kemakmuran–hingga ada seorang udik yang menjadi terkenal dengan teori ‘konspirasi kemakmuran’. Berpuluh mobil. Berjuta rupiah. Berkilo-kilo emas. Ribuan meter persegi tanah. Mereka kejar untuk mencapai apa yang disebut dengan kebahagiaan.
Namun, pernahkah kita berpikir apa yang disebut dengan kebahagiaan bagi mereka–orang-orang yang tidak berpunya? Orang-orang yang disisihkan dan tersingkir dari dunia yang jelas berpijak pada paham materialism? Tak banyak orang yang tahu dan mungkin tak mau tahu. Karena kebahagiaan adalah sebuah subyektivitas. Sebuah visi kaca mata kuda yang tidak menginginkan melihat sekitarnya.
Pesimis? Tidak, karena manusia hidup harus optimis. Optimisme yang harus terbungkus dalam sebuah kesadaran hakiki. Bahkan motivasi untuk menjadi optimis dan ‘sukses’ banyak disuarakan oleh mereka-mereka yang mengisi pundi-pundi kekayaan dari omongan-omongan yang membuai. Berkata bahwa semua orang adalah yang terhebat dengan menganalogikan proses pembuahan dalam kehamilan, bahwa manusia adalah satu sperma yang paling sukses dari jutaan sperma yang terpancar dan berjuang untuk membuahi sebuah sel telur.
Namun, jika demikian maka pastilah ada jutaan manusia yang dalam hidupnya ‘gagal’ dan ‘tidak sukses’ dalam perjuangan membuahi sel telur yang bernama ‘kemakmuran’. Karena saya, anda, dia, dan jutaan orang di luar sana adalah sperma-sperma yang berjuang saling sikut menyikut untuk mencapai rahim di mana sel telur ‘kemakmuran’ itu berada. Dan pada akhirnya, pencapaian kemakmuran pastilah akan berbeda bagi tiap-tiap manusia yang hidup. Bukan pencapaian kemakmuran subyektif a la omongan motivator-motivator terkenal.
Inilah hidup. Ini hidupku. Itu hidupmu. Mari menghidupkan hidup. Agar bisa menghidupi mereka-mereka yang hidup namun tidak hidup.
Lhoh, mumet ndasmu nek moco iki. Wis! Wis parak esuk iki.