Gunung Ungaran: Kompleks Kadewaguruan Peninggalan Era Kalingga.

Ini bukanlah saga atau kisah silat kolosal, ini hanyalah sebuah tulisan tentang analisa terhadap sebuah sejarah. Sebuah kisah yang pernah terjadi pada masa lalu, yang jelas berkaitan dengan peradaban sebuah bangsa hingga menjadi bangsa yang besar kini.

Jawa, mungkin dilihat dari sudut pandang kesukuan, terlihat bahwa Jawa mendominasi semuanya. Bahkan beberapa orang berpendapat bawah Jawa adalah 'beyond good and evil'. Namun ini juga bukan tentang Jawa secara makro, ini tentang perjalanan religi yang saat itu dijalani untuk menuju pensucian jiwa-jiwa yang dipersiapkan menjadi rsi atau 'pedande' yang akan menyebarkan agama yang dipeluk oleh orang-orang dimasa itu. Ini tentang perjalanan singkat, tentang rekonstruksi kejadian, dan tentang kearifan yang pernah terjadi.

Hindu, sebuah keyakinan yang masih dipeluk oleh jutaan orang hingga masa kini. Agama yang berbaur dengan adat istiadat setempat. Dan Hindu di Indonesia sudah ada dan dipeluk sebagai keyakinan sejak lebih dari 1620 tahun yang lalu. Dalam tulisan ini, Hindu akan dibahas sebagai latar
belakang, bukan sebagai pokok tulisan.

Mungkin kisah ini berpangkal dari masa Kerajaan Kalingga (dalam literatur lain disebut sebagai Kaling atau Ho-Ling, menurut literatur China). Kerajaan kecil yang disepakati berada di Jepara (kini) dengan Ratu Shima sebagai pemimpinnya dengan keadilannya yang merata.

Tulisan ini tidak membahas Hindu, Jawa, atau Ratu Shima. Melainkan membahas beberapa komplek percandian yang dibangun pada masa pemerintahannya di Kalingga. Dan komplek tersebut antara lain adalah: Kompleks Candi Gedongsongo, Pemandian/Pasucen Promasan, dan Kompleks Candi Argosomo. Mengapa hanya kompleks ini saja? Bukan yang lain? Penulis melihat tiga kompleks ini sebagai sebuah kesatuan yang unik dan tak terpisahkan, sebuah keterkaitan apik dalam pola penyebaran agama Hindu pada saat itu, yang mungkin terjadi 1500-an tahun yang lalu.

Gedong Songo (Sembilan Bangunan) adalah nama candi yang berada di bukit pegunungan Ungaran. Candi Gedong Songo terletak pada ketinggian sekitar 1.200 DPL dengan suhu sekitar 19 – 27 °C. Lokasi Candi Gedong Songo sangat mudah di jangkau dari berbagai kota yang ada di sekitarnya. Lokasinya merupakan jalur deretan alternatif Ungaran – Temanggung. Apabila Petualang memulai dari Kota Semarang cukup ke selatan menuju Kota Ungaran – Bandungan – Gedong Songo. Bisa di tempuh dengan waktu 1 jam perjalanan. Apabila dari Yogyakarta bisa melalui Kota Ambarawa (Tugu Palagan Ambarawa) – Bandungan – Gedong Songo, waktu perjalanan sekitar 2 jam.

Candi Gedong Songo terletak di lereng Gunung Ungaran, pada koordinat 110°20’27” BT dan 07°14’3” LS di desa Darum, Kelurahan Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Gedong Songo berasal dari bahasa Jawa, Gedong (rumah/bangunan) dan Songo (sembilan) yang berarti Sembilan (Kelompok) Bangunan. Apakah sejak awal candi ini ada sembilan kelompok? Atau memiliki arti lain? Hmm, belum dapat dijawab. Namun saat ini hanya ada 5 komplek candi.

Arca-Arca di komplek Candi Gedong Songo yang dibuat pada abad ke 8 Masehi tidak lagi lengkap. Arca-arca yang di jumpai hanya beberapa yang tersisa, seperti Durga (Istri Siwa), Ghanesa (Anak Siwa), Agastya (Seorang Resi) Serta dua pengawal dewa Siwa yaitu Nandiswara dan Mahakala yang bertugas menjaga pintu candi.

Komplek Candi Gedong Songo sendiri di temukan oleh Loten, pada tahun 1740. Pada masa setelahnya, Rafles mulai mencatatnya dengan memberi nama gedong pitoe (tujuh) karena hanya menemukan 7 kelompok bangunan sekitar tahun 1804. Namun baru pada tahun 1925, Van Braam membuat publikasi adanya candi di sekitar perbukitan Ungaran. Lalu Friederich dan Hopermans menulis tentang Gedong Songo, dan Van Stein Calefells melakukan penelitian di sekitar Komplek Candi Gedong Songo pada tahun 1908. Sekitar tahun 1911-1912 Knebel melakukan inventarisasi semua komplek candi Gedong Songo.

Pada tahun 1916, Pemerintah Belanda secara resmi mulai melakukan penelitian di komplek candi yang diserahkan tugas pada saat itu adalah oleh Dinas Purbakala Belanda. Pada tahun 1928-1929, dilakukan pemugaran candi Gedong 1. Pada tahun 1930-1932 dilakukan pemugaran pada candi Gedong 2. Pemerintah Indonesia memulai pemugaran pada tahun 1977-1983, yang dipugar pada pada komplek candi gedong 3 , 4 dan 5. Pada saat itu yang melakukan tugas pemugaran adalah SPSP, pada saat ini namanya berubah menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia mulai melakukan pemetaan ulang semua komplek candi Gedong Songo.

Keberadaan Candi Gedong Songo digunakan oleh masyarakat masa lampau untuk melakukan pemujaan. Bahkan hingga sekarang, masyarakat Hindu masih melakukan upacara pemujaan di kompleks candi ini. Pelaksanaannya berupa perjalanan dari Candi pertama menuju Candi ke-9 dengan melakukan semacam ritual di tiap-tiap candi yang dilalui. Parswadewata di Jawa ditafsirkan sebagai persembahan kepada roh nenek moyang yang telah bersatu dengan Siwa dan di candi disimbolkan dalam bentuk Lingga-Yoni yang dikawal dewa pengiring, yakni Durga (istri Siwa), Ganesha (anak Siwa), dan Agastya (seorang resi yang memiliki kemampuan spiritual setara dengan dewa).

Candi Gedong Songo ini banyak kemiripan dengan candi yang ada di Dieng yang berada di Kabupaten Banjarnegara (petualangan selanjutnya). Komplek candi ini di buat berderet dari bawah ke atas perbukitan mengintari kawah sumber air panas. Dimana komplek candi di Dieng juga banyak kawah air panas yang berada tak jauh dari pusat candi. Pembuatan candi yang simetris dan berada atas bukit menunjukan perpaduan dari dua religi yaitu lokal yang menganut kepercayaan terhadap nenek moyang dan budaya hindu dimana candi sebagai tempat tinggal para dewa. Candi yang dibuat kuncup ke atas mirip dengan budaya jaman batu yaitu punden berundak-undak.

Prinsipnya bawah semakin ke puncak, maka roh nenek moyang semakin dekat dengan manusia. Nah, kedua budaya ini menyatu di Candi Gedong Songo dengan mendefinisikan sebagai tempat persembahan untuk roh nenek moyang dimana tempat untuk melakukan prosesi tersebut berada di komplek candi yang berada di atas perbukitan.

Sebenarnya, kompleks Candi Gedong Songo ini berkaitan erat dengan situs Candi Promasan yang berada di Desa Ngesrepbalong Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal dan Kompleks Candi Argosomo yang berada di Desa Gonoharjo Kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal. Jika dihubungkan dengan sebuah proses maka ketiga situs ini adalah sebuah rangkaian perjalanan religi pendalaman agama Hindu.

Dalam pandangan dan asumsi penulis, Kompleks Candi Gedong Songo (dan beberapa kompleks percandian kecil di sekitarnya) dipergunakan sebagai sarana peribadatan penganut agama Hindu Jawa pada waktu itu. Sebagaimana telah disebut di atas. Posisi geografis candi yang menggambarkan perjalanan ke nirwana menjadikannya sebagai tempat penggemblengan calon-calon wiku atau pendeta serta sebagai tempat mendoakan leluhur atau arwah nenek moyang.

Sedangkan pada situs Candi Promasan, tempat ini menjadi lokasi meditasi atau bahkan skriptorium bagi para calon wiku atau pendeta Hindu Jawa sebelum mereka ditahbiskan di kompleks Candi Argosomo, hal ini logis mengingat kompleks Candi Promasan berada di kaki gunung Ungaran sebelah timur laut yang menghadap tepat ke arah Laut Jawa, dan hanya berjarak sekitar 3-4 jam perjalanan melewati hutan dari Kompleks Candi Gedong Songo.

Kompleks Candi Promasan sangat strategis, karena merupakan area lapang yang memenuhi syarat sebagai sebuah kompleks pemukiman. Selain itu kompleks Candi Promasan adalah hulu dari Sungai Promasan yang kemudian menyatu dengan rangkaian sungai yang mengalir menuju ke Laut Jawa melewati Kota Semarang. Di kompleks ini terdapat sebuah mata air yang sekarang disebut sebagai Sendang Pengilon oleh warga setempat. Saat ini sebagian besar situs Promasan sudah rusak, hanya tinggal situs pemandian kuno yang berada di Sendang Pengilon yang masih terawat dengan baik.

Dari semua proses tersebut, Candi Argosomo yang diperkirakan sebagai “Kadewaguruan” yang berada di kompleks Sumber Air Panas Gonoharjo merupakan tujuan terakhir dari pendidikan para wiku agama Hindu-Jawa yang dimulai dari komplek Gedongsongo. Komplek Promasan dan candi Argosomo merupakan tempat “pembaptisan” dan semadi terakhir sebelum dilantik menjadi wiku agama Hindu yang akan menyebarkan Hindu-Jawa ke seluruh penjuru Jawadwipa kala itu.

Di masa lampau, tempat pendidikan berada jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Letaknya di lereng gunung dan di tengah hutan, terpisah dari pusat pemerintahan. “Selain sebagai tempat pendidikan agama, ia juga digunakan sebagai tempat bersemedi,” kata Agus Aris Munanadar, arkeolog Universitas Indonesia, kepada Historia. Area itu disebut kadewaguruan, dipimpin seorang Maharsi atau Dewaguru. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewaguru dibantu murid-murid senior (ubwan dan manguyu).

Kadewaguruan merupakan kompleks pertapa yang dirancang khusus. Tempat tinggal Dewaguru berada di tengah, sedangkan para murid mengelilinginya, disusun berjenjang berdasarkan tingkat pengetahuan mereka. Karena tataletak seperti ini, kompleks perumahan pertapa itu disebut mandala (konfigurasi lingkaran).

Di kadewaguruan, para murid dapat belajar secara perorangan atau berkelompok. Mereka belajar bertahap dari tata upacara, filsafat, hingga ajaran inti tentang “kehampaan” yang terdapat dalam kitab Tutur, buku keagamaan yang bersifat Siwa. “Melihat isi ajarannya, kemungkinan kitab Tutur ini adalah bahan bagi mereka yang sudah mempunyai dasar pengetahuan agama dan bukan untuk pemula,” tulis Haryati Subadio, guru besar FIB UI bidang Sanskerta dan Jawa Kuna.

Fungsi lain kadewaguruan dapat ditelisik berdasarkan penemuan sejumlah naskah di wilayah Merapi-Merbabu, yang dikenal sebagai naskah Merapi-Merbabu. Wilayah tersebut, menurut Agus Aris Munanadar, tak hanya menjadi pusat keagamaan tapi juga skriptorium, tempat bagi para Brahmin menuliskan ajaran-ajarannya pada daun lontar.

Hipotesis diatas sangat cocok dengan lokasi situs Argosomo, dari beberapa runtuhan bangunan yang ada, nampaknya menunjukkan relevansi hipotesis dengan bukti di lapangan. Kompleks Argosomo berada di tengah hutan lebat, jauh dari pemukiman penduduk. Di situs Argosomo terdapat reruntuhan yang jika direkonstruksi akan didapatkan beberapa bangunan seperti kompleks asrama wiku dan murid-muridnya, kompleks patirtan yang digunakan untuk penyucian, dan tentu saja lokasi peribadatan yang saat ini disebut sebagai Candi Argosomo.

Inilah yang kemudian menjadikan rangkaian kompleks percandian tersebut menjadi menarik, bagi sebagian orang kompleks tersebut sekarang hanya menjadi obyek wisata saja. Namun sebenarnya ada yang lebih dari itu. Rangkaian kompleks-kompleks candi yang berada di kaki/lereng Gunung Ungaran tersebut adalah sebuah kompleks akademi yang menjadi salah satu tonggak budaya di wilayah Jawa Tengah bahkan mungkin di wilayah Jawa.

Source:  HYPERLINK "http://historia.id/kuno/pendidikan-agama-di-kadewaguruan" http://historia.id/kuno/pendidikan-agama-di-kadewaguruan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Estimasi Hasil Produk Pemotongan Ayam Broiler

Posisi Bercinta Paling Nikmat

Sejarah Desa Boja: Mataram Kuno hingga Jaman Wali Songo